Author Archives: Henri Daros

Curator, SERAMBI SOEKARNO (Soekarno Veranda), Ende/Flores, Indonesia, 2019 – present. Initiator & Founder, SERAMBI SOEKARNO (Soekarno Veranda), Ende/Flores, Indonesia, 2018. Lecturer, Indonesian Studies Program (Department of Asian Studies), Nanzan University, Nagoya/Japan, 2000 – 2017. Publisher, Media Chairman & Chief Director, Ende/Flores, Indonesia, 1986 – 2000. Studied: *Interdisciplinary Center on Social Communication, Gregorian University, Rome/Italy, 1983 – 1985. *Faculty of Missiology, Gregorian University, Rome/Italy, 1982 – 1984.

SEKILAS GAIRAH KEISLAMAN SOEKARNO DI ENDE

SEKILAS GAIRAH KEISLAMAN SOEKARNO
ENDE, 86 TAHUN SILAM

( 1935 – 2021 )

Sebagaimana terungkap dalam suratnya dari Ende ke Bandung, 17 Juli 1935, yaitu kepada T. A. Hassan, Guru ‘Persatuan Islam’ Bandung.

Ungkapan hati mengenai perkembangan lebih lanjut dari apa yang sudah mulai dialaminya di Ende selama tahun pertama di tempat pengasingannya itu (1934). Bahwa sambil mengucapkan terima kasih untuk kiriman buku-buku gratis tentang Islam yang pernah diterima, sesungguhnya masih dibutuhkannya buku-buku lain guna menambah pengetahuan sekaligus menjawabi berbagai pertanyaannya tentang Islam.

Menarik bahwa Ir. Soekarno pun sangat peduli pada perkembangan pemahaman keislaman para kawan-kawan barunya di Ende. Kawan-kawan yang menurutnya “sudah mulai luntur kekolotan dan kedumudannja. Kini mereka sudah mulai sehaluan dengan kita dan tak mau mengambing sahaja lagi kepada ke­kolotannja, ketakhajulannja, kedjumudannja, kehadramautannja … karena percaja kepada azimat-azimat, tangkal­-tangkal dan keramat-keramat kaum kuno, dan mulailah terbuka hatinja buat AGAMA jang hidup”.

Bahkan, menurut Soekarno, kawan-kawannya itu pun minta agar Soekarno bersedia pula memesan buku-buku bacaan tentang Islam untuk mereka, kalau bisa dengan separoh harga.

Luar biasa! Tak hanya nasib bangsa yang permenungannya telah mulai lebih didalami melalui diskusi dan berbagai bahan bacaan di Biara Santo Yosef, tapi hidup keberagamaannya pun, baik pribadi maupun kawan-kawannya di Ende saat itu, sama-sama mendapat perhatiannya yang mendalam.

*****

Foto-foto mutakhir Dokumentasi ‘Serambi Soekarno’
Lihat ‘Henri Daros Facebook’
Rabu, 28 Juli 2021

—–

EMPEROR NARUHITO AND TOKYO OLYMPICS

Emperor to declare opening
of Tokyo Olympics

While Emperor Naruhito is expected to open the games,
other members of the imperial family will likely not attend
due to a restriction on spectators at Olympics venues.


THE JAPAN TIMES
July 14, 2021

Emperor Naruhito is likely to attend the opening ceremony of the Tokyo Olympics next week and declare the start of the games, an official with knowledge of the planning said Wednesday.

Japan is going ahead with arrangements for the emperor’s attendance at the ceremony on July 23, said the official, who spoke on condition of anonymity, adding that he is prepared to also meet with visiting foreign dignitaries at the Imperial Palace.

However, imperial family members are unlikely to watch other Olympic events at venues after organizers decided earlier this month to stage almost all of the competitions behind closed doors to prevent the spread of the coronavirus, according to the official.

The 61-year-old emperor, who formally ascended the Chrysanthemum Throne on May 1, 2019, is the honorary patron of the Tokyo 2020 Olympics and Paralympics.

The Olympic Charter stipulates that the host country’s head of state proclaims the games open.

Emperor Naruhito is the third emperor to have accepted the role of honorary patron and the first to have assumed it for both the Olympics and Paralympics.

His father, Emperor Akihito, declared the opening of the 1998 Nagano Winter Games, while his grandfather, Emperor Hirohito, proclaimed the start of both the 1964 Tokyo Summer Games and the 1972 Sapporo Winter Games.

*****

PAK HARMOKO BERPULANG: DUKA & BELASUNGKAWA

PAK HARMOKO BERPULANG
DUKA DAN BELASUNGKAWA MENDALAM

Minggu malam, 4 Juli 2021, di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, dalam usia 82 tahun (1939 – 2021). Demikian sebagian berita duka yang diterima.

Takkan terlupakan, beberapa kali pernah berjumpa. Tahun 1986 di kantor Departemen Penerangan RI Jakarta saat sebagai Ketua Yayasan Dian mengurus perubahan status DIAN dari Majalah Dua Mingguan menjadi Surat Kabar Mingguan (SKM), didampingi oleh Pak Soekarno SH sebagai Dirjen Penerbitan Pers & Grafika, kenalan lama sejak di Roma, ketika beliau bertugas sebagai Atase Penerangan pada Kedubes RI untuk Italia.

Disusul pertemuan di Kupang tahun 1987 ketika menandatangani dokumen peresmian SKM Dian sebagai pelaksana Program ‘Koran Masuk Desa (KMD)’ di NTT yang dipercayakan langsung oleh Departemen Penerangan, disaksikan oleh Pak Ben Mboi, Gubernur NTT saat itu.

Lalu tahun 1997 kembali bertemu di Jakarta saat sebagai Ketua Yayasan Flores Media berkonsultasi tentang ide dan prospek penerbitan Surat Kabar Harian di Flores yang kemudian, pada tahun 1999, terbit dengan nama ‘Flores Pos’.

Itu merupakan tiga kali pertemuan resmi, namun keseringan mampir di kantor Deppen telah membuka peluang pula untuk kadang berpapasan dan bersalaman atau berbincang sejenak.

Pak Harmoko, Menteri Penerangan selama 14 tahun (1983 – 1997). Banyak cerita dan kisah tentang Beliau. Sebagai politikus Golkar, selama menjalankan tugas sebagai Menteri Penerangan hingga akhirnya menjadi Ketua MPR-RI, semuanya masih sering diceritakan ulang hingga saat ini. Namun sesungguhnya ada pula yang tak diketahui umum, yang sempat saya ketahui pula dari sumber khusus.

Saat ini, bagi saya, apa yang telah dialami secara pribadi, itulah yang merupakan hal yang paling menggugah. Pak Harmoko, dalam tampilannya yang asli, adalah pribadi yang sederhana dan ramah. Berita duka kepergiannya malam ini sangat mengejutkan, dan sekaligus juga membangkitkan kembali semua kenangan pribadi itu. Secara pribadi pula merasa sedih dan hanya bisa diam tertegun …

‘Pak Harmoko, beristirahatlah dalam damai. Doaku menyertai.’💜

*****

Ende, Minggu Malam
4 Juli 2021
Henri Daros

*****

BHAYANGKARA INDONESIA, GENAP 75 TAHUN

BHAYANGKARA INDONESIA, GENAP 75 TAHUN

Hari ini, 1 Juli 2021, kita ucapkan ‘SELAMAT HARI BHAYANGKARA’ bagi Segenap Keluarga Besar ‘Kepolisian Republik Indonesia’. Tetaplah amanah, demi NKRI.

Bermula dari saat turunnya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946 tentang pembentukan suatu kesatuan nasional ‘Kepolisian Republik Indonesia’ yang bertanggung jawab langsung kepada pemimpin tertinggi negara yaitu presiden. Itulah wujud perhatian dan komitmen Presiden Soekarno, bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta, untuk lebih menjamin keamanan masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan melalui ‘Badan Kepolisian Negara’ (BKN) yang telah dibentuk oleh ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia’ (PPKI) pada 19 Agustus 1945, yang lantas  menetapkan dan melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo (foto 1) sebagai Kepala Kepolisian Negara pada 29 September 1945.

Sebelumnya, yaitu pada masa penjajahan Belanda, institusi tersebut berwujud pasukan keamanan yang terdiri dari para warga pribumi namun tidak diberi wewenang untuk memimpin. Kemudian berlanjut ke masa pendudukan Jepang di mana salah seorang anggotanya ditugaskan juga untuk memimpin rekan-rekannya. Kesatuan pasukan penjaga keamanan tersebut adalah cikal bakal terbentuknya kesatuan kepolisian setelah proklamasi kemerdekaan.

Latihan-latihan yang diperoleh di pelbagai bidang tak dapat disangkal lagi telah mengasah kemampuan mereka. Pada masa penjajahan Belanda, sebagai contoh: Polisi Lapangan (Veld Politie), Polisi Kota (Stands Politie), Polisi Pertanian (Cultur Politie) dan Polisi Pamong Praja (Bestuurs Politie). Selain itu mereka pun dibolehkan untuk menjalankan tugas sebagai mantri polisi, asisten wedana dan wedana polisi, namun tidak untuk memegang jabatan yang lebih tinggi seperti bintara (hood agent), inspektur polisi (inspekteur van politie) dan komisaris polisi (commisaris van politie).

Menarik bahwa pada masa pendudukan Jepang satuan penjaga keamanan tersebut tidak dibagi menurut bidang tugas sebagaimana pada masa penjajahan Belanda tetapi menurut wilayah penugasan. Karena itulah ada yang disebut Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin, Kepolisian Sumatera dengan pusat Bukittinggi dan Kepolisian Indonesia Timur yang berpusat di Makassar. Satuan kepolisian yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang ini populer dengan nama PETA. Selain itu ada juga ‘Gyu-Gun’. Tentang kekhasan tugas kepolisian a’la Jepang ini bagi saya menjadi lebih jelas lagi ketika bertugas di Jepang selama lebih dari 17 tahun (2000 – 2017).

Tercatat bahwa satuan kepolisian di bawah Indonesia merdeka pada awalnya berada di bawah Kementerian Dalam Negeri untuk segala urusan administrasi, dan di bawah Kejaksaan Agung untuk hal-hal operasional. Peraturan Presiden Nomor 11 tertanggal 1 Juli tahun 1946 itulah yang selanjutnya mengubah status dan segala keterkaitan lainnya hingga sekarang. Itulah juga awal dari perayaan dan peringatan ‘Hari Bhayangkara’ setiap tahun hingga kini, dengan tema dan jenis kegiatan yang berbeda-beda setiap tahunnya, namun tetap di bawah semboyan atau moto utama yang sama yakni ‘Rastra Sewakottama’, yang berarti ‘Polri adalah Abdi Utama Nusa dan Bangsa’, Brata pertama dari ‘Tri Brata’ pedoman hidup Polri itu.

Adapun ‘Tri Brata’, pedoman hidup Polri (dalam rumusan bahasa Sanskerta dengan terjemahan Indonesia) itu, dalam kesatuan dengan unsur-unsur simbolik pada lambangnya, ialah: 1. Rastra Sewakottama (Abdi Utama Nusa dan Bangsa); 2. Nagara Janottama (Warga Negara Teladan); Jana Anusasana Dharma (Penjaga Ketertiban Rakyat), dengan rumusannya yang lengkap pula apabila harus atau perlu diucapkan pada kesempatan-kesempatan resmi (foto 2 & 3).

Keterbukaan POLRI dalam rangka pembenahan dirinya sempat menyentuh hati saya justru ketika saya sedang bertugas di Jepang. Mungkin baru sekitar 5 atau 6 tahun saya bertugas di sana, sebagai pengajar pada Program Studi Indonesia di Universitas Nanzan, Nagoya, ketika diterima informasi melalui Bagian Hubungan Internasional universitas bahwa sewaktu-waktu akan ada kontak permintaan konsultasi dari pihak Kepolisian Jepang yang sedang menyiapkan diri untuk memperkenalkan sistem ‘Koban’, yaitu sistem kerja dan pelayanan masyarakat Kepolisian Jepang, kepada pihak Kepolisian Indonesia. Bantuan perihal gambaran situasi di Indonesia dan istilah-istilah kunci dan penting dalam bahasa Indonesia, itulah yang menjadi fokus.

Betapa gembira ketika kemudian mendapat informasi lebih lanjut, sekaligus saran, agar meluangkan waktu untuk mengikuti suatu wawancara, di TVRI kalau tidak khilaf, di mana seorang perwira polisi Jepang mendapat kesempatan untuk memperkenalkan sistem ‘Koban’ tersebut kepada para pemirsa umum pada awal tugas pendampingannya secara langsung di lingkungan Polri. Tidak berhasil terhubung ke siaran televisi, namun lega ketika mengikuti beritanya melalui koran. Sang Perwira Polisi Nippon itu pun, dalam bahasa Indonesia yang terbatas namun jelas dan terukur, telah berhasil menyampaikan informasi yang mengesankan.

‘Koban’ Jepang itu sendiri memang sangat mengesankan. Kata itu sendiri, yang kadang disebut juga ‘Chuzaisho’, berarti ‘Pos Polisi’, menggambarkan tak hanya suatu tempat tugas tapi suatu sistem, konsep dan budaya kerja para polisi Jepang sebagai polisi komunitas, pelayan masyarakat, yang hadir langsung di jantung kehidupan masyarakat.

Sekadar mengemukakan beberapa contoh konkret, misalnya, pelayanan yang cepat dan tepat; penanganan persoalan yang tidak bertele-tele dan tanpa tawar-menawar apapun; tempat orang menemukan barangnya yang hilang, tercecer atau terlupa dalam keadaannya yang masih utuh; tak pernah terdengar menggunakan kekerasan atau pistol; ramah dalam memperlakukan orang; sabar menghadapi kerewelan orang yang lagi bermasalah, dan lain sebagainya. Bangunan rumah ‘Koban’ pun (foto 4) seperti dengan sengaja dibuat menarik perhatian. Para pejalan kaki sering suka berebutan bergambar di depannya, terutama di depan bangunan yang sengaja ditampilkan rada-rada lucu.

Itulah wajah depan ‘Koban’ dan para opsirnya, wajah ramah yang berbaur akrab di tengah masyarakat sejauh saya sendiri menyaksikannya. Tak jarang pula sering bersalaman ketika mereka, biasanya berpasangan, melintas bersepeda santai dekat apartemen tempat tinggal. Di balik itu, di markas utama, kecanggihan teknologi dan kecermatan otak jelas mengatur dan menggerakkan semuanya.

Maka, ketika mendengar bahwa kedatangan pertama sang perwira polisi beserta timnya dari Jepang itu disusul oleh kesepakatan ‘Program Studi Banding’ bagi para polisi Indonesia di Negeri Samurai itu, rasa hati ini memang menjadi semakin lega, dan lengkap. Sangat boleh jadi tak hanya di ‘Koban’, tapi di pusat-pusat operasinya pun para polisi kita mampir melakukan studinya. Sejauh mana hasilnya, belum jelas benar, tapi mengingat semboyan ‘Tri Brata’ yang sudah sejak awal diucapkan dan dihayati, kita optimis akan hasilnya yang terbaik.

Namun, di ‘Hari Bhayangkara’, hari yang sangat khusus ini, keteladanan di tubuh Keluarga Besar POLRI sendiri pun hendaknya tak terlupakan. Saya hanya mau menyebut satu teladan utama yang kebetulan pernah saya kenal, yaitu Jendral Polisi Hoegeng Imam Santoso (foto 5). Awal tahun 1990-an, di Jakarta, kami bertemu pada acara peluncuran buku yang ditulis tentang Beliau yang berjudul ‘Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan’. Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, dan Ramadhan KH adalah salah satu penulisnya. Dihadiri oleh hampir semua anggota ‘Kelompok Petisi 50’, termasuk Pak Ali Sadikin, para aktivis penggugat rezim Orba dan kalangan ‘civil society’ serta lembaga penerbitan.

Adalah Pak Chris Siner Key Timu, Sekretaris Pokja (Kelompok Kerja) Petisi 50 (yang sudah sejak tahun 1976 jadi sahabat dan mitra dalam kegiatan kemahasiswaan itu) yang secara khusus memperkenalkan saya kepada Pak Hoegeng dan Pak Ali Sadikin pada waktu itu. Nah, Pak Hoegeng, polisi idaman, paling berdisiplin, polisi paling jujur yang gemar bermain musik Hawaian itu, telah meninggalkan jejak yang dalam sebagai teladan, tak hanya untuk Keluarga besar POLRI tapi juga untuk NKRI yang beradab dan bermartabat.

Sekali lagi, ‘SELAMAT HARI BHAYANGKARA’ Ke-75. Teruslah setia berkiprah demi NKRI tercinta.

*****

NB. Foto-foto dapat dilihat di akun
Henri Daros Facebook hari/tanggal
Kamis, 1 Juli 2021

‘Serambi Soekarno’
Biara Santo Yosef, Ende
Kamis, 1 Juli 2021
HENRI DAROS

*****

PUTRA SANG FAJAR, JAKARTA – BLITAR

PUTRA SANG FAJAR, JAKARTA-BLITAR, 51 TAHUN SILAM

Tanggal 22 Juni 1970, sehari setelah wafat dalam keadaan yang memprihatinkan tanggal 21 Juni 1970, jenasah Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, negeri khatulistiwa yang kemerdekaannya diperjuangkan dan diproklamasikannya itu diterbangkan ke Malang menuju Blitar.

Banyak kisah dramatis masih tersimpan. Setelah cukup lama sengaja disingkirkan, para pelayat justru menyaksikan wajah yang tersenyum penuh kharisma di pembaringannya, disusul ratusan-ribu orang yang melepas jenazah dari Wisma Yaso Jakarta, jutaan orang sepanjang jalan Malang-Blitar dan tetap menyemutnya kehadiran orang di Pemakaman Sentul Blitar hingga lewat tengah malam setelah upacara pemakaman berakhir.

Sebanyak 78 wakil negara-negara anggota PBB secara serempak langsung mengirimkan ucapan belasungkawa. Sekjen PBB U Thant menulis sepucuk surat pribadi. Belum lagi surat dan kawat belasungkawa sejumlah tokoh dunia dari berbagai lembaga internasional dan para pemimpin berbagai negara di ketujuh benua.

Tak kurang pula yang sekaligus menyatakan sangat terkejut bahwa selama ini Soekarno yang mereka tahu baik perannya bagi Indonesia dan kiprahnya bagi dunia ternyata dalam keadaan sakit dan tak terawat sepantasnya.

Putra Sang Fajar, terkucil oleh rezim namun tetap bersinar di hati rakyat kecil dan tak kunjung padam dalam kenangan para pemimpin dunia yang peduli pada kesederajatan dan kemanusiaan.

*****

NB. Foto: Upacara Pemakaman di Blitar, 22 Juni 1970,
mohon dilihat di akun Henri Daros Facebook
tanggal 22 Juni 2021. Terima kasih.

———-

PANCASILA, HARI INI, 76 TAHUN

HARI LAHIR PANCASILA
PANCASILA, DASAR FALSAFAH NKRI, 76 TAHUN
1945 – 1 JUNI – 2021

Bersama pengunjung pertama ‘Serambi Soekarno’,
Biara Santo Yosef, Ende, Flores/NTT,
pada pukul 7, hari Selasa pagi, tanggal 1 Juni 2021 ini,
dari ‘Serambi Soekarno’ kami mengucapkan
‘SALAM PANCASILA’
bagi Anda Sekalian di mana saja berada.

Selamat memperingati dan sekaligus juga merayakan
‘HARI LAHIR PANCASILA’
seraya menyegarkan ikrar untuk meningkatkan
penghayatan dan pengamalannya
dalam kehidupan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat.

(Buat Sang Pengunjung Pertama ‘Serambi Soekarno’ hari ini,
seorang Petugas Medis, disampaikan ucapan banyak terima kasih!)

*****

LAHIRNYA PANCASILA, CATATAN SEJARAH

Setelah pada 3 hari pertama, yaitu tanggal 29, 30 dan 31 Mei 1945,
sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
yang berlangsung di Gedung Tyuuoo Sang-In (sekarang Gedung Pancasila)
memberikan kesempatan kepada Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo,
dan Dr Soepomo untuk menyampaikan gagasan masing-masing
tentang dasar negara Indonesia, tibalah kesempatan
bagi Ir Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.

Setelah menilai secara menyeluruh isi pidato Ir Soekarno,
sidang BPUPKI yang dalam bahasa Jepang disebut ‘Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai’
dan diketuai oleh Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat itu pun
menerima dan menyepakati gagasan PANCASILA yang menjadi inti
pemaparan hari itu untuk dikemukakan sebagai dasar negara Indonesia.

PANCASILA itulah yang pada tanggal 18 Agustus 1945
disahkan sebagai Dasar Negara Indonesia
bersamaan dengan pengesahan UUD 1945.

Catatan sejarah nan penting
bagi segenap Warga NKRI.

*****

Ende, 1 Juni 2021
SERAMBI SOEKARNO
Henri Daros

—————————

MENGENANG PATER MOM, SAHABAT SOEKARNO

MENGENANG PATER ADRIAAN MOMMERSTEEG, SVD
SALAH SEORANG PASTOR SAHABAT SOEKARNO DAHULU

Pater Mom, demikian sapaan akrabnya, berpulang pada tanggal 17 Mei 2002, tepat 19 tahun lalu, pada usia 92 tahun, di So’a, Kabupaten Ngada/Flores. Antara tahun 1934 hingga 1938, ketika Soekarno Sang Pejuang itu berada di Ende tempat pengasingannya, Pater Mom tiba dari Belanda sebagai seorang imam muda, misionaris, dan menjadi penghuni sementara Biara Santu Yosef (BSY) sebagai persiapan sebelum bertugas sambil menunggu penempatan.

Itulah tempat sekaligus kesempatan perjumpaan rutin antara keduanya, direkat oleh kefasihan berbahasa Belanda seorang Soekarno dan kebutuhan belajar bahasa Indonesia (Melayu) di pihak Pater Mom.

Bagi saya, Pater Mom adalah salah seorang saksi hidup sekaligus saksi langsung kehadiran Soekarno di BSY Ende, tak hanya sebagai tamu rutin yang selalu mampir ke perpustakaan dan ruang baca, tapi lebih dari itu sebagai sahabat akrab para penghuni biara. Kisah kesaksian yang terekam selama suatu rentang waktu pada paruh kedua dekade 1980-an, ketika Pater Mom melewatkan waktu untuk istirahat di BSY setelah sembuh dari sakitnya.

Di pendopo BSY yang sekarang menjadi situs sejarah ‘Serambi Soekarno’ dan terletak langsung di depan kamar tinggal saya, kami sering melewatkan kesempatan bersama pada waktu istirahat santai sore hari. Itulah saat-saat nostalgia ketika Pater Mom mengangkat kembali kisah kenangannya bersama Soekarno, antara lain tentang kebersamaan mereka di pendopo BSY itu dahulu. Menyambut Soekarno, berbincang-bincang, bertukar pikiran, berbagi kesan tentang pentas tonilnya di Gedung Immaculata yang terletak dekat rumah biara, dan tidak jarang bergurau gembira juga. Soekarno, menurut Pater Mom, sudah seperti orang dalam.

Sudah saya duga pula suasananya karena Pater Mom yang diinformasikan sebagai sosok yang berkarakter tegas dan keras dalam soal prinsip itu sering melontarkan lelucon dan guyonan yang menyegarkan, dan tak jarang secara jenaka mengusili saya juga demi menciptakan suasana gembira. Maka, bersama Soekarno sahabatnya dahulu itu pasti tak jarang terlontar gurauan dalam percakapan, dan tentu dalam bahasa Belanda juga karena menurut Pater Mom Soekarno sangat fasih berbahasa Belanda.

Lalu, apa kesan utama tentang Soekarno yang tertanam kuat dalam dirinya? Sosok intelektual yang sangat cerdas dan komunikatif, kawan bicara yang hangat, yang sejak awal perkenalan telah membangkitkan kekaguman dalam dirinya. Berbagai ide dan buah pikiran yang dilontarkan Soekarno pun telah membuatnya menaruh simpati pada haluan perjuangan Soekarno bagi kemerdekaan Indonesia, sambil tak mengabaikan pertanyaan dan tanggapan kritis saat bertukar pikiran.

Namun ada hal menarik yang dikisahkannya kembali sambil memancing dan mengamati reaksi saya. Beberapa kali terjadi bahwa Pater Mom, sang misionaris muda itu, mendapat teguran dan peringatan dari pater pemimpin komunitas BSY karena siang hari sering terlambat hadir di ruang makan yang biasanya didahului oleh ibadat doa bersama di kapel.

Dalam kisah kilas baliknya itu Pater Mom mengakui, sambil melirik ke arah saya dalam mimik humor, bahwa memang dia larut dalam keasyikan berbincang-bincang dengan Soekarno di pendopo biara dengan panorama indah ke lepas pantai Ende itu. Spontan saya tersenyum, dan tampaknya itulah reaksi penuh pengertian yang dinantikannya dari saya, karena dia sendiri pun ikut tersenyum juga …

Berbagai kisah kenangannya yang lain tentang Soekarno mirip pula dengan kisah kenangan dua pater lainnya yang bagi saya merupakan saksi hidup sekaligus saksi langsung juga, yang pernah saya ceritakan pula sejauh ini. Namun, sentilan khusus Pater Mom saat itu tentang kamar tempat tinggal saya yang menurutnya dahulu merupakan kantor para pemimpin serikat biarawan misionaris SVD Regio Ende tidak terasa sebagai sesuatu yang istimewa dan tidak terlampau memancing perhatian saya. Kecuali bahwa kamar itu merupakan tempat di mana Soekarno dulu kerap mampir ketika Pater Dr. Joannes Bouma, SVD menjabat tugas sebagai Regional.

Sebabnya tak lain karena kamar tersebut memang sudah lama diketahui menjadi ruang kantor dari beberapa figur pemimpin SVD Ende berturut-turut sebelum akhirnya berpindah ke lokasinya yang sekarang, yaitu lokasi kantor pusat Provinsi SVD Ende, yang terletak di ujung lain dari kompleks BSY. Perpindahan yang saya saksikan sepenuhnya sebelum saya sendiri ganti mengisi kamar tersebut sebagai penghuninya yang baru.

Jejak sejarah kamar tersebut mulai lebih disadari sejak SVD Ende sendiri mulai merasa perlu untuk menghadirkan kembali fakta sejarah hubungan SVD dan Soekarno dalam wujud situs permanen di rumah BSY yang diketahui dan dapat disaksikan pula oleh masyarakat umum.

Suatu kebetulan yang menarik pula, kamar tersebut sempat digunakan sebagai salah satu lokasi shooting film dokumenter ‘Ketika Bung di Ende’ pada tahun 2013, terutama karena itulah kamar kosong yang tak berpenghuni saat itu, dan karena itu dapat digunakan, yaitu pada saat pemilik kamar sekaligus penghuninya (yang sedang bertutur ini) berada dan bertugas di Jepang (2000 – 2017).

Keberadaan ‘Serambi Soekarno’ saat ini, tepat di pendopo tua BSY dahulu dan berdampingan pula dengan bekas ruangan kantor tersebut, ibarat gayung bersambut dengan kisah kenangan Pater Mom.

Pater Mom telah meninggalkan kisah kenangan tentang persahabatannya dengan Soekarno Sang Pejuang yang dikaguminya itu melalui tuturannya yang sangat menarik dan mengesankan. Karena itulah ‘Serambi Soekarno’ di rumah BSY saat ini merupakan situs sejarah yang juga menghadirkan kembali kenangan indah akan Pater Mom, sebagaimana untuk para penghuni tetap BSY dahulu, para Sahabat Soekarno ketika itu.

“Pater Mom, beristirahatlah dalam damai.”

Ende, 17 Mei 2021
‘Serambi Soekarno’
HENRI DAROS

*****

Catatan:
Untuk melihat foto Pater Mom, silakan mampir
ke akun Henri Daros Facebook tertanggal
17 Mei 2021 karena kesulitan menampilkan
foto pada halaman Henri Daros Blog ini.

—————————————————–

ROMO MANGUN, OTDA DAN JANJI TAK SAMPAI

ROMO MANGUN, OTDA DAN JANJI TAK SAMPAI

Album ‘memory’ sudah sempat dibuka kembali oleh Fabebook tanggal 6 Mei, tiga hari yang lalu, namun terlanjur terlewatkan. Pas pada hari peringatan 92 tahun kelahiran Sang Romo (Ambarawa, 6 Mei 1929), meskipun beliau sudah berpulang 22 tahun yang lalu (Jakarta, 10 Februari 1999). Romo Mangun, siapa tidak tahu. Beberapa kali bersama dalam seminar atau lokakarya, selalu mengasyikkan. Namun kebersamaan yang paling mengesankan ternyata merupakan pertemuan yang terakhir.

Di Kaliurang, Jogja, pada kegiatan semiloka tentang peran lembaga penerbit (buku dan pers) di daerah, suatu waktu pada paruh kedua dekade 1990-an. Malam sehabis kesibukan, sambil menyeruput wedang jahe hangat kami pun berbincang hangat sebelum masing-masing menghangatkan diri di balik selimut. Entah apa ujung pangkalnya, perbincangan sampai ke topik status OTDA (Otonomi Daerah) yang sudah 2 atau 3 tahun berlaku, sejak tahun 1996.

Kebijakan OTDA tanpa pemimpin daerah yang mumpuni akan sia-sia. Sadar bahwa mitra bicara yang duduk di depannya adalah orang NTT, beliau langsung saja menyebut contoh pemimpin daerah yang ideal itu. Ben Mboi, menurutnya, patut jadi contoh. Pada masa jabatan Ben Mboi sebagai gubernur, praktis gerakan yang digariskan OTDA itu sudah mulai dijalankan. Sayang masa jabatan itu terbatas dan terobosannya pun tidak dilanjutkan.

Romo Mangun sendiri ternyata cukup mencermati perkembangan NTT. Sendiri pernah mampir langsung ke NTT, yakni ke Kabupaten Sikka di Flores, tak lama sesudah gempa dahsyat dan tsunami Desember 1992. Beliau membantu kegiatan pembangunan kembali rumah-rumah kediaman warga yang rusak dengan berbagai advisnya sebagai ahli, khususnya dari segi desain. Setelah saya bertanya lebih lanjut, ternyata sejak waktu itu beliau belum sempat lagi ke Flores meskipun di hati kecilnya tersimpan keinginan.

Lalu disusul dengan pertanyaan, kapan lantas beliau mempertimbangkan waktu yang tampan akan ke Nusa Bunga kembali. “Ayo Romo, biar janjinya kami pegang sambil menunggu di sana … “. -Langsung pula dijawabnya: “Pasti, nanti … ketika pater ditunjuk menjadi usk- … ” -(Nb. Kata terakhir sengaja dipotong) -Langsung disusul oleh ketawa ramai bersama, grrrrr …

Tapi, masih sempat saya tanggapi juga. “Wah, kalau begitu, Romo bakal takkan pernah ke Flores lagi … ” -disusul oleh ketawa bersama pula. Memang Romo Mangun tak pernah ke Flores lagi sesudah itu. Tentu saja bukan karena janji yang alasannya mustahil terwujud itu … -Teringat, percakapan disertai guyonan saat itu justru sangat menyegarkan. Langsung sesudahnya kami lelap dalam dekap mesra udara malam Kaliurang sebelum melanjutkan kegiatan esok harinya.

Ende, 6 Mei 2021
‘Serambi Soekarno’
HENRI DAROS

******

MENGENANG CHRIS SINER KEY TIMU

MENGENANG CHRIS SINER KEY TIMU
BUKU HIDUP KENEGARAWANAN

Tepat 6 tahun lalu, 4 Mei 2015, Pak Chris berpulang. Usia 75 tahun. Tokoh yang dikenal luas oleh siapa saja yang peduli akan nasib ‘civil society’ alias masyarakat madani Indonesia pada suatu masa yang penuh tantangan itu.

Pernah menjadi Ketua Presidium PMKRI Bandung (1968-1969) dan Ketua Umum Pengurus Pusat PMKRI di Jakarta selama dua periode (1971-1977), Pak Chris adalah juga salah seorang pendiri Kelompok Cipayung yang terdiri dari PMKRI, HMI, GMNI, GMKI dan PMII. Juga termasuk pendiri Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Terakhir berkiprah sebagai Sekretaris Pokja Petisi 50, setelah ikut menggagas pembentukannya, posisi yang sangat penting dan strategis dalam kelompok para ‘tokoh sepuh’ yang sangat prihatin akan situasi negeri di bawah rezim pemerintahan pada saat itu.

Berkaitan dengan situasi khusus pada saat itu pula, jelas Pak Chris bukanlah figur ketua PMKRI yang berkualitas biasa-biasa saja, baik ketika di Bandung maupun di Jakarta. Kualitas itu pula yang memungkinkannya menjadi salah seorang pendiri Kelompok Cipayung dan KNPI. Hingga akhirnya didaulat menjadi Sekretaris Pokja Petisi 50, apalagi. Beruntung saya beroleh kesempatan untuk berkenalan dengan Pak Chris sampai bisa menelusuri pula lika-liku perjuangannya, di balik layar maupun di lapangan.

Tak pernah terbersit rasa ingin tahu akan latar belakang pendidikan formal ataupun gelar, namun sangat terasa dan tampak betapa kearifan, kecerdasan dan ketajaman pemikiran tak sekadar tercetak di atas kertas dan hanya tergeletak di atas meja, tapi terjelma dalam tindakan nyata. Teori, falsafah dan prioritas nilai, komitmen, sikap peduli serta rasa prihatin langsung diolah dan dirumuskan menjadi langkah konkret.

Tahun 1976, itulah tahun awal perkenalan kami. Ketika para mahasiswa STF/TK Ledalero mulai tergerak pula untuk berpartisipasi dalam pergerakan mahasiswa Indonesia di ibu kota dan sejumlah tempat lainnya dalam menanggapi situasi Tanah Air di bawah rezim pemerintahan saat itu. Sebagai Sekretaris Dewan Mahasiswa (Dema) yang ditugaskan untuk mewujudkan hal itu, saya melihat bahwa PMKRI adalah organisasi yang patut dijadikan mitra. Maka, dimulailah berlangganan majalah terbitan PMKRI Pusat sebagai sarana awal informasi karena belum ada satupun cabang PMKRI di Pulau Flores ketika itu.

Di luar dugaan, Ketua PMKRI Komda NTT dari Kupang mampir ke Ledalero untuk bersilaturahmi. Baru kemudian saya mendapat tahu bahwa langkah tersebut diambil atas isyarat Pak Chris dari Jakarta yang konon tergugah mendengar informasi geliat para mahasiswa calon imam di Ledalero dalam menanggapi situasi Tanah Air. Kerja sama dan kebersamaan dipandang sebagai langkah strategis yang perlu. Maka, dari Jakarta tak hanya majalah PMKRI Pusat yang tiba di tangan, tapi juga surat dari Pak Chris sendiri.

Surat pun lantas disusul oleh kunjungan pribadi secara langsung pada tahun 1976. Disusul pula oleh kunjungan pada tahun 1977, setelah para frater, rekan-rekan mahasiswa STF/TK Ledalero, memberikan saya kepercayaan untuk menjadi Ketua Dewan Mahasiswa. Perjumpaan langsung di Ledalero yang terus disusul dengan perjumpaan-perjumpaan lainnya kemudian, hingga ketika Pak Chris berkiprah sebagai Sekretaris Pokja Petisi 50 dan sebagai Pembantu Rektor III Unika Atma Jaya Jakarta. Juga ketika saya sendiri pun sudah lama meninggalkan Ledalero dan bertugas di Ende.

Terkenang kembali, suatu ketika pada awal tahun 1990-an di Jakarta, perjumpaan terjadi di tengah atmosfer khas Petisi 50, pada acara peluncuran buku autobiografi seorang tokoh Petisi 50 yakni Pak Hoegeng Imam Santoso, sang polisi legendaris paling jujur yang gemar bermain musik Hawaiian itu. Buku baru tersebut, yang berjudul ”Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan”, diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, dan Ramadhan KH adalah salah satu penulisnya.

Di tengah keasyikan pertemuan dengan para aktivis dari berbagai spektrum organisasi, Pak Chris tak lupa mempertemukan saya dengan para tokoh Petisi 50 yang hadir, antara lain Pak Hoegeng dan Bang Ali (Pak Ali Sadikin), yang merasa gembira atas kehadiran seseorang dari daerah nun jauh pada kesempatan tersebut. Juga karena ternyata saya pun sudah lama akrab dengan sang pengendali kantor Sekretariat Petisi 50, markas penting kelompok mereka.

Selanjutnya, e-mail dan SMS merupakan sarana komunikasi kami, terutama ketika saya beralih tugas ke Jepang sejak tahun 2000. Hingga menjelang Perayaan Paskah tanggal 5 April 2015, ketika saya menerima SMS ucapan Selamat Hari Raya Paskah dari Pak Chris yang ternyata merupakan SMS-nya yang terakhir. Sebulan kemudian, tanggal 4 Mei 2015, Pak Chris berpulang.

Dua tahun kemudian, pada 5 Februari 2017, Bu Irma, istri Pak Chris pun berpulang. Saya mengenalnya sebagai seorang ibu yang ramah ketika bersama Pak Chris, dan kedua anak mereka, mampir ke Ledalero pada tahun 1977.

Mengenal Pak Chris Siner Key Timu ibarat membaca buku kehidupan. Hidupnya, sebagaimana hidup para tokoh Petisi 50 lainnya, memancarkan citra negarawan. Hidup yang diabdikan secara paripurna tanpa pamrih bagi Tanah Air, Negara dan Bangsa.

“Pak Chris dan Bu Irma, beristirahatlah dalam damai.”

Ende, 4 Mei 2021
‘Serambi Soekarno’
HENRI DAROS

————————————————————

Catatan:
Untuk melihat tampilan foto silakan mampir
ke akun Henri Daros Facebook tertanggal
4 Mei 2021 karena kesulitan menampilkan
foto pada halaman Henri Daros Blog ini.

*****

‘HENRI DAROS FACEBOOK’, GENAP 16 TAHUN

‘HENRI DAROS FACEBOOK’, GENAP 16 TAHUN
RIWAYATNYA DULU

Bantu merawat minat dan memenuhi rasa ingin tahu para mahasiswa, di luar bahan kuliah dan selain berbagai literatur yang secara teratur mereka telusuri, itulah alasan pertama dan utama lahirnya akun ‘Henri Daros Facebook’ ini.

Sudah 16 tahun lalu, awal 2005. Lima tahun setelah Program Studi Indonesia dimulai di Universitas Nanzan, Nagoya (April 2000), setahun setelah Facebook untuk pertama kalinya diluncurkan (Februari 2004).

Tak hanya tentang Indonesia, tapi juga tentang Jepang dan tentang aneka peristiwa di kampus. Setiap kali dengan narasi singkat dan jelas, dalam Bahasa Indonesia yang sederhana dan mudah dimengerti, lengkap dengan ilustrasi foto. Para mahasiswa Program Studi Indonesia, sebagai sasarannya yang khusus, bisa mengaksesnya secara leluasa.

Sudah sejak waktu itu (hingga kini) akun ‘Henri Daros Facebook’ ini tak pernah mengajukan ‘friend request’ atau permintaan untuk berteman kepada siapa pun. Melayani permintaan untuk jadi teman Facebook pun hanya apabila datang dari para mahasiswa. Di luar itu baru dilakukan kemudian, itu pun setelah selalu dengan cermat menyaringnya.

Semakin lama, bahan-bahan yang disajikan tak lagi hanya terkait pada tujuan semula, tapi mulai juga menyapa umum dan tak hanya dalam Bahasa Indonesia. Namun, ada hal khusus lagi. Setelah ‘pensiun’ dari tempat tugas di Nippon sana, pernah terbersit keinginan untuk ‘pensiun’ pula dari kontrak ikat janji dengan Facebook.

Keinginan yang belum kunjung terwujud hingga saat ini. Menyaksikan Facebook yang rajin dan rutin membuka kembali album ‘memory’, keinginan itu untuk sementara masih tertunda. Belum lagi setelah mempertimbangkan pelbagai faktor lainnya.

Ucapan terima kasih patut disampaikan kepada Facebook yang telah bantu mewujudkan tujuan pertama dan utama sebagaimana tercatat di atas, sekaligus membantu terwujudnya moto bakti, yakni ‘Mengibarkan Nusantara, Merajut Hubungan Antarbangsa’.

Juga karena telah membantu terwujudnya jalinan relasi serta komunikasi dalam konteks pertemanan serta persahabatan di lingkup yang lebih luas lagi, nasional maupun internasional, selama 16 tahun ini. Luar biasa!

——-

Ende, 28 April 2021
‘Serambi Soekarno’
HENRI DAROS

*****