‘KETIKA BUNG DI ENDE’, DI KAMAR INI

MENELUSUR JEJAK TAPAK BUNG KARNO
SETELAH DELAPAN DASAWARSA BERLALU
ENDE 1934 – ENDE 2014

******

Inilah judul film dokumenter itu, sebagaimana tampak di layar ... (Foto Henri Daros)

Inilah judul film dokumenter pertama yang berkisah tentang Soekarno selama masa pengasingannya di Ende, Pulau Flores, tahun 1934 – 1938, sebagaimana tampak di layar film … (Foto Henri Daros)

******

Saat Itu, Ketika Saya Kembali Mampir ke Ende

Tanggal 16 Agustus 2014. Jarum arloji menunjukkan pukul 09.55 ketika roda-roda pesawat Garuda bernomor penerbangan GA4026 dengan mulus menyentuh landasan bandara di pinggir kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende, Flores Tengah, di pagi hari Sabtu yang cerah.

Sepasang wisatawan Italia yang duduk di seberang saya serempak menjengukkan kepala ke jendela. Sejenak mereka diam setelah tak henti-hentinya bicara, agak ribut, khas Italia, sejak pesawat lepas landas di bandara Labuan Bajo, Flores Barat, dengan topik dan obrolan hangat tentang pengalaman wisata mereka yang seluruhnya dapat saya pahami pula.

Sambil ikut merasakan kegembiraan mereka karena sudah tiba, saya sendiri tokh merasa tidak perlu untuk ikut melihat dan mengamat-amati keadaan di luar, karena ke sanalah saya pasti akan pergi menemui para rekan saya yang sudah berjanji akan menjemput. Dan memang di sana mereka sudah menunggu.

Rumah di Bukit dan Sekilas Bekas di Dinding Kamar

Ke bukit kecil di tengah kota Ende itulah akhirnya saya kembali. Jepang, Negeri Sakura, tempat tugas saya, terasa begitu dekatnya. Saya pun sadar akhirnya bahwa perasaan itu muncul semata karena Ende berada dalam untaian mata rantai tugas lapangan saat itu, sebuah mata rantai yang sangat penting, sebagai tempat istirahat di celah agenda tugas di beberapa kota di tanah air.

Bukan sembarang tempat istirahat, karena rumah di bukit itu adalah tempat kediaman saya juga, dengan kamar tinggal saya pula. Lama, ketika saya masih bertugas penuh di Ende, sebelum beralih tugas ke Jepang, dan setidaknya sepekan, setiap kali saya balik ke tanah air sebagaimana pada kesempatan ini.

Seperti biasa saya melayangkan pandangan ke sekeliling, untuk mengakrabkan diri kembali dengan atmosfer kamar tua itu. Namun kali ini pandangan saya sejenak terarah ke salah satu dinding di ruang depan. Ada noda di sana. Sesuatu sepertinya pernah dipaku di dinding itu, entah apa, dan masih meninggalkan bekas, tampaknya seperti tak sempat dibersihkan.

Kamar tua di kompleks kediaman di bukit kecil itu, menghadap kota dan laut selatan Ende ... (Foto Henri Daros)

Kamar tua yang terletak di ujung kompleks kediaman di bukit kecil itu, yang di kota Ende dikenal sebagai Kompleks (Biara) Santo Yosef, berdiri  tampan menghadap (ke bawah sana) ke sebagian kota Ende, Lapangan Pancasila, Taman Renungan Bung Karno dengan ‘Pohon Sukun’-nya, pantai dan laut selatan Ende serta pulau Ende di kejauhan. Adapun Kompleks Santo Yosef adalah tempat kediaman para biarawan SVD yang bertugas di Ende. Bagian bangunan lama dari kompleks ini sudah mulai digunakan sebelum tahun 20-an. SVD sendiri adalah suatu tarekat biarawan internasional yang sejak dulu, terhitung sejak tahun 1913, sudah tak asing lagi bagi masyarakat Ende khususnya dan Flores umumnya, baik karena karya pelayanannya untuk kebutuhan rohani Umat Katolik maupun karena karya pendidikan dan pengembangan sosial-ekonomi yang dijalankannya untuk kepentingan masyarakat umum. (Foto Henri Daros)

‘Ketika Bung di Ende’ Ternyata Mampir Pula ke Kamar Ini

Tak butuh waktu lama untuk mendapat kejelasan. Ternyata ‘Bung Karno’ sudah sempat beberapa kali ‘kembali masuk’ ke kamar ini selama bulan September – Oktober tahun 2013. Ya, ‘shooting’ beberapa adegan penting untuk film dokumenter yang mengisahkan kembali hari-hari masa pengasingan atau pembuangan Bung Karno di Ende oleh pemerintah kolonial Belanda itu berlokasi di kamar ini juga. Judul film ialah ‘Ketika Bung di Ende’, begitu saya diberitahu.

Pilihan yang tepat namun tampaknya tak cukup disadari, baik oleh pimpinan Biara Santu Yosef yang memberikan izin maupun, atau apalagi, oleh pihak crew pembuat film, bahwa justru di kamar itulah dahulu Pater Regional Dr. Joannes Bouma, SVD sebagai pemimpin Regio SVD Flores-Timor berkantor ketika Soekarno Sang Pejuang itu berada di Ende, tempat pengasingannya. Ruang kantor yang terletak berhadapan dengan pendopo biara tempat Soekarno pun mampir secara rutin, selain ke ruang baca dan perpustakaan yang saat itu terletak di ujung lain gedung biara.

Namun pilihan tempat shooting ketika itu tampaknya lebih atas pertimbangan letaknya yang tampan. Juga bahwa kamar tersebut sedang tak terpakai karena sang pemilik atau penghuni kamar, yaitu saya sendiri, sedang berada di Jepang. Tempat yang lantas dipandang representatif untuk ditampilkan dalam film tersebut sebagai tempat Soekarno beraktivitas ketika berada di Biara Santo Yosef.

Sesungguhnya informasi tentang pembuatan film tersebut, dan bahwa kamar itu pun akan digunakan dalam adegan khusus tentang perpustakaan Komunitas SVD, sebuah komunitas biara Katolik di Ende, tempat Bung Karno berkunjung untuk membaca atau berbincang-bincang, sudah disampaikan juga kepada saya di Jepang. Namun tak tersimpan lama dalam ingatan karena hanya merupakan informasi sepintas. Saat mampir ke Ende pun saya tak mengingatnya lagi.

Akan halnya noda yang membekas di dinding itu, sama sekali bukanlah persoalan besar. Dinding akan segera dicat kembali. Syukur bahwa kamar tua ini sudah ikut berperan bagi suksesnya pembuatan film dokumenter tersebut. Oleh seorang rekan di sana saya lalu disarankan untuk menontonnya lewat internet. Ya, saran untuk menonton sosok kamarku sendiri di layar film. ”Klik saja ‘Ketika Bung di Ende’ Full HD”, katanya pula, sambil tersenyum.

Setelah coba membukanya di Ende dan kemudian di Jawa, saya akhirnya baru bisa menikmatinya secara memuaskan ketika berada kembali di Nagoya, Jepang, boleh jadi karena kemampuan internet yang lebih baik. Beberapa foto yang saya ambil dari film tersebut ditampilkan juga di halaman ini.

Adegan film 'Ketika Bung di Ende', saat setelah Bung Karno -yang diperankan oleh aktor Baim Wong- turun dari KM. van Riebeeck yang lego jangkar di depan dermaga Pelabuhan Ende (Foto Henri Daros)

Adegan film ‘Ketika Bung di Ende’, saat setelah Bung Karno -yang diperankan oleh aktor Baim Wong- turun dari kapal Jan van Riebeeck yang lego jangkar di depan dermaga Pelabuhan Ende (Foto Henri Daros)

Jejak Tapak Pertama Soekarno di Ende, 14 Januari 1934

Tak banyak yang tahu, inilah tanggal Soekarno memijakkan kaki untuk pertama kalinya di Pulau Flores, tepatnya di Pelabuhan Ende, 81 tahun yang silam, setelah menempuh pelayaran selama delapan hari dengan kapal Jan van Riebeeck dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Hari itu hari Selasa. Mulailah riwayat hari-hari pengasingan atau pembuangannya di suatu tempat yang sangat terpencil, yang berakibat sangat terkucil, apalagi buat seorang Soekarno yang sedang naik bintangnya di pulau Jawa, pulau pusat pergerakan.

Namun saya tak bermaksud mengangkat kembali pelbagai kisah selanjutnya. Sudah ada banyak tulisan, buku dan dokumen tentang hal itu, meskipun harus diakui tak diketahui secara luas. Terakhir patut disebut film dokumenter ‘Ketika Bung di Ende’ itu, yang disutradarai oleh Viva Westi, dengan produser pelaksana Egy Massadiah. Pembuatan film yang difasilitasi oleh Ditjen Kebudayaan Kemendikbud itu berlangsung di Ende selama bulan September dan Oktober 2013. Suatu jangka waktu pembuatan film yang sangat singkat menurut saya.

Film dokumenter yang judulnya sejak awal saya cuplik dalam cerita kilas balik saya kali ini mudah-mudahan dapat menyebarluaskan kisah riwayat pengasingan Soekarno di Ende yang ditandai oleh ‘temuan’ mutiara Pancasila yang amat berharga dan bersejarah itu, mengingat bahkan buku sejarah di sekolah-sekolah di Tanah Air pun -sepengetahuan saya- tak cukup jelas menyebutnya.

Apa yang secara istimewa ingin saya kenang kembali dalam catatan kilas balik ini hanyalah sosok kamar tua di kompleks kediaman di bukit kecil itu, yang dengan mesra menyambut saya kembali ke dalam rahimnya untuk berteduh, sambil bertutur dalam diam tentang sepenggal kisah lama. Kisah yang telah dipentas ulang di sana demi mendokumentasikan dan sekaligus juga menegaskan kembali suatu peristiwa sejarah yang hampir tak pernah jadi bahan bicara.

Kamar tua itu ... (Foto Henri Daros)

Pintu masuk yang dalam keadaan terbuka ke ruang depan kamar tua itu, dengan separuh dinding depannya yang tidak terbuat dari tembok atau papan tapi dari keping-keping kaca berwarna, tampak dari arah pendopo besar, yaitu pendopo depan paling tua di gedung Kompleks Santo Yosef ini. Sebagai seorang anggota Provinsi SVD Ende, di kamar inilah saya tinggal selama kurang-lebih 15 tahun saat bertugas penuh di Ende, hingga tahun 2000 sejak mulai bertugas di Universitas Nanzan, Nagoya / Jepang. Selama bertugas di Jepang pun selalu mampir beristirahat di kamar ini untuk seminggu-dua minggu setiap tahun, yaitu  ketika berada di Tanah Air dalam rangka tugas dan kegiatan lapangan di berbagai tempat pada jeda semester musim panas. Kesempatan mengambil waktu untuk istirahat ini biasanya pada pertengahan bulan Agustus, saat para mitra kegiatan di Tanah Air sibuk berkonsentrasi pada rangkaian kegiatan perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ….  (Foto Henri Daros)

Oase Intelektual, Lintas Agama, Lintas Bangsa dan Lintas Budaya

Kompleks kediaman di bukit kecil di tengah kota Ende inilah tempat Soekarno dulu sering berkunjung selama masa pengasingannya. Kompleks yang saat ini dikenal dan disebut oleh warga kota Ende sebagai Kompleks Santo Yosef.

Gerbang kecil atau pintu masuk ke kompleks biara yang biasa dilalui oleh Soekarno muda dahulu, dengan 45 anak tangga menuju ke gedung di bukit kecil itu pun masih ada hingga saat ini. Bahkan, menurut tuturan para saksi hidup, masih tampak sebagaimana aslinya dahulu.

Kompleks yang kadang disebut juga kompleks biara atau kompleks misi itu adalah sebuah kompleks kediaman dengan sejarah yang panjang, hampir seusia sejarah tarekat biarawan internasional SVD hadir dan berkarya di Indonesia sejak tahun 1913, khususnya sejak tarekat tersebut menetapkan Ndona, tak jauh dari Ende, sebagai pusatnya di Indonesia sekitar tahun 1914.

Gedung utama kompleks biara tersebut selesai dibangun pada tahun 1927 setelah kantor pusat tarekat di wilayah misi baru ini dipindahkan dari Ndona ke Ende. Disusul oleh pembangunan sebuah gedung bertingkat dua pada tahun 1930, yang biasa disebut sebagai ‘rumah tinggi’, atau dikenal juga dengan sebutan ‘Rumah Tinggi Carolinum’ pada waktu itu, agar dapat menampung para anggota biara yang jumlahnya semakin bertambah.

Sebelum gedung utama kompleks Biara Santo Yosef dibangun, sesungguhnya sudah ada bangunan lain milik SVD yang terletak berdekatan. Bangunan lain tersebut terdiri dari tiga unit yaitu Percetakan Arnoldus, Bengkel Pertukangan Santo Yosef dan gedung Immaculata, yang semuanya sudah mulai beroperasi dan terpakai sejak tahun 1926. Gedung Immaculata pada awalnya merupakan tempat ibadat yang digunakan pula oleh umat setempat.

Apa yang saya ketahui dan saya alami pula secara langsung ialah bahwa saya mulai menempati kamar tua itu pada tahun 80-an, sesudah ‘Provinsial’ atau pemimpin wilayah SVD (wilayah yang dikenal sebagai Provinsi SVD Ende) pindah dan menempati gedung khusus yang baru pada bagian lain dari Kompleks Santo Yosef yang terletak memanjang di bukit kecil itu.

Sementara itu, berdasarkan informasi tentang riwayat Kompleks Santo Yosef sendiri, bagian kompleks di mana terdapat kamar tinggal saya memang termasuk bagian paling tua dari seluruh kompleks.

Kamar tua itu sendiri pun ternyata menjadi kamar tinggal dan kantor pemimpin wilayah SVD sejak dulu, yaitu sejak wilayah kerja awal SVD di Indonesia masih mencakup seluruh Kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara hingga sesudah terjadi pemekaran wilayah kerja. Bahkan, sebagaimana sudah dicatat pada bagian awal kisah kenangan ini, kamar tua itu adalah ruang kantor Pater Regional SVD Flores-Timor pada tahun-tahun pengasingan Soekarno di Ende.

Dapat dimengerti juga, bersama hadirnya para anggota komunitas biara yang berasal dari negeri-negeri barat, khususnya Belanda dan Jerman pada waktu itu, hadir pula unsur tradisi dan kultur barat, yaitu adanya perpustakaan dan ruang baca di kompleks kediaman tersebut.

Informasi tentang adanya perpustakaan tersebut diketahui juga oleh Soekarno, seorang penikmat berat buku-buku klasik dengan berbagai topik, yang langsung berinisiatif mencari peluang untuk bisa memanfaatkannya juga. Keinginan Bung Karno itu bak gayung bersambut dengan sikap terbuka para ‘pater’, demikian sebutan populer untuk pastor atau imam biarawan Katolik di Flores, yang menjadi penghuni kompleks misi tersebut.

Di sanalah Soekarno melepaskan dahaga khusus yang menggeliat dalam dirinya. Menjelajah pemikiran-pemikiran besar dunia lewat buku-buku. Memandang perspektif lain kehidupan lewat diskusi dengan orang-orang dari bangsa dan budaya yang berbeda. Menemukan nilai-nilai kerohanian Kristen / Katolik lewat percakapan, karya pengabdian, kesaksian jati diri dan cara hidup para biarawan.

Adegan dari film 'Ketika Bung di Ende', saat Bung Karno berbincang-bincang dengan Pater Huijtink (tengah) dan Pater Bouma (kiri) di Biara Santo Yosef (Foto Henri Daros)

Adegan dari film ‘Ketika Bung di Ende’, saat Bung Karno berbincang-bincang dengan Pater Huijtink (tengah) dan Pater Bouma (kiri) -maaf, saya belum menemukan nama masing-masing pemerannya- di Biara Santo Yosef, di depan kamar tua itu … (Foto Henri Daros)

******

Potret asli (doc.) Pater Bouma (kiri) dan Pater Huijtink (kanan)

Potret asli: Pater Bouma, kiri dan Pater Huijtink, kanan (doc.svd.ende)

‘Ketika Bung di Ende’, Mereka Pun Menyertai Tapak Langkahnya

Pater Gerardus Huijtink SVD, pastor pemimpin Paroki Katedral Ende, dan Pater Dr. Joannes Bouma SVD, yang saat itu menjadi regional atau pemimpin Regio SVD Kepulauan Sunda Kecil, adalah dua imam biarawan paling senior di sana pada waktu itu, yang tidak hanya menerima dengan senang hati kunjungan Soekarno ke perpustakaan biara, tetapi juga menjadi mitra diskusi dan teman ngobrol yang sepadan selama Soekarno berada di Ende.

Tak hanya para pater, para bruder anggota komunitas biara pun dekat dengan Soekarno. ‘Bruder’ adalah sebutan untuk anggota biara atau biarawan yang bukan-imam. Patut disebut nama Bruder Lambertus dan Bruder Cherubim yang banyak membantu Soekarno dalam persiapan dan pertunjukan tonilnya dengan semua perlengkapan yang perlu dari bengkel pertukangan yang mereka pimpin. Juga membantu mencetak poster informasi pementasan tonil pada Percetakan Arnoldus milik SVD yang terletak di kompleks biara. Pementasan tonil dilakukan di Gedung Immaculata yang terletak berdampingan, yang pada saat itu sudah berfungsi sebagai gedung serba guna.

Saya beruntung mendengar langsung kesaksian tentang hal ini dari seorang misionaris, Pater Adriaan Mommersteeg, SVD yang tiba di Ende dari Belanda sebagai seorang imam muda pada saat Soekarno berada di Ende. Dia menjadi penghuni sementara biara sebelum terjun ke tempat tugas. Selama waktu itulah Pater Mom banyak kali berkesempatan bercakap-cakap langsung dengan Soekarno. Pribadi yang hangat dan sangat komunikatif, itulah Soekarno, demikian kesan pribadi Pater Mom.

Tentang kunjungan rutin Soekarno ke kompleks biara dan hubungan akrabnya dengan para pater dan bruder saya dengar juga dari anak buah sekaligus sahabat Soekarno dalam Kelimoetoe Toneel Club asuhannya, khususnya Bapak Djae Bara dan Bapak Ruslan Ottoh alias Bapak Iros, yang kemudian menjadi sahabat-sahabat saya juga. Tentang mereka akan saya goreskan catatan khusus di akhir kisah kilas balik ini.

Saya sendiri tak pernah berjumpa dengan Pater Huijtink, kecuali dengan Pater Bouma ketika saya diterima dalam keanggotaan SVD sebagai seorang ‘Novis’, calon anggota baru, pada tahun 1968 di Seminari Tinggi Ledalero, juga di Pulau Flores, Kabupaten Sikka. Seminari Tinggi Ledalero, sekarang STF (Sekolah Tinggi Filsafat), yang terletak tidak jauh dari Maumere ibu kota kabupaten, adalah sebuah lembaga pendidikan tinggi untuk para mahasiswa calon imam Katolik. Beliau adalah salah seorang pendiri seminari ini pada tahun 1937 dan sedang melewatkan masa istirahat sebagai biarawan sepuh ketika saya tiba di sana.

Di Ledalero ini pula saya boleh mendengarkan kesaksian tentang Bung Karno dari seorang dosen dan pembimbing utama kami, Magister para Novis, yaitu Pater Dr. Matthias van Stiphout SVD. Beliau seorang ahli sejarah yang tiba di Ende sebagai misionaris muda pada tahun 1936 dan banyak berdiskusi pula dengan Soekarno. Tugas rutin tidak resmi yang diberikannya kepada saya untuk menyunting naskah khotbahnya merupakan salah satu peluang selama dua tahun masa Novisiat itu untuk mendengarkan cerita pengalamannya.

Adegan dari film 'Ketika Bung di Ende', Bung Karno bersama Pater Huijtink (Foto Henri Daros)

Adegan dari film ‘Ketika Bung di Ende’, Bung Karno bersama Pater Huijtink (Foto Henri Daros)

******

Adegan dari film 'Ketika Bung di Ende', saat Bung Karno tampaknya menyimak bacaan sambil berdiskusi dengan Pater Huijtink, salah satu adegan yang diambil di kamar tua itu ... (Foto Henri Daros)

Adegan dari film ‘Ketika Bung di Ende’, saat Bung Karno tampaknya menyimak bacaan sambil berdiskusi dengan Pater Huijtink, salah satu adegan yang diambil di kamar tua itu … (Foto Henri Daros)

Sekilas Geliat di Kamar Ini, Ketika Bung Disingkirkan

Sejak di Ledalero sebagai mahasiswa, hingga di Ende di medan tugas, satu hal yang cukup mengganggu akal sehat setiap kali bersentuhan dengan isu-isu politik dan kemasyarakatan ialah sikap tak adil dan propaganda kebencian dengan tujuan pembunuhan karakter oleh rezim pemerintahan Orde Baru (Orba) terhadap sosok Sukarno (atau Soekarno sebagaimana Bung Karno sendiri menulisnya dalam ejaan lama), pejuang gigih melawan kolonialisme, penggali Pancasila, proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia.

Teman-teman mahasiswa tahu bahwa pigura Presiden Soekarno di dinding kamar saya di dormitorium kampus adalah simbol perlawanan terhadap sikap kerdil rezim Orba tersebut. Ketika itu mereka pun tahu, misalnya, bahwa rumusan pernyataan dan pengumuman yang saya sampaikan sebagai Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) agar kampus harus tetap netral selama masa kampanye pemilihan umum adalah sikap resmi berdasarkan peraturan yang berlaku, namun sama sekali tak mencampuri hak dan sikap individu setiap mahasiswa di luar kampus, termasuk sikap untuk mendukung dan berpihak pada partai politik berhaluan nasionalis pro-Soekarno, tokoh bangsa yang memang sangat dihormati, baik oleh para mahasiswa maupun di kalangan penduduk setempat.

Selama sekurang-kurangnya tiga tahun bertugas di wilayah Ende dan Lio setelah menamatkan studi di Ledalero, situasi politik sama sekali belum berubah karena rezim yang sama memang masih berkuasa. Ketika kemudian kembali bertugas di Ende dan menetap untuk jangka waktu lama sekembali dari tugas belajar di Italia, keadaan bahkan semakin memburuk karena rezim penguasa semakin dalam dan luas menancapkan cengkeraman kekuasaannya akibat kecemasan dan ketakutan akan tanda-tanda perlawanan.

Adalah sang ketua dari suatu partai politik berideologi nasionalis di Ende, yang kebetulan juga tokoh berpengaruh dan kepala salah satu marga bangsawan setempat, yang mengambil prakarsa untuk mendekati saya, bertukar pikiran sambil minta advis serta dukungan moril bagi parpol yang dipimpinnya serta warga masyarakat simpatisannya. Situasi politik yang stagnan dan sangat tak berimbang di bawah tali kendali rezim yang zalim merupakan konteks keprihatinannya.

Hingga saat ini tak cukup jelas apa atau siapa yang mendorongnya untuk justru mendekati saya. Di lain pihak, permohonannya bukanlah sesuatu yang rumit untuk dipertimbangkan. Hal itu tak bertolak belakang dengan cita-cita saya sendiri sejak sebagai mahasiswa, yaitu untuk ikut menegakkan kekuatan masyarakat sipil yang demokratis, bebas, bertanggungjawab dan mandiri, tanpa perlu menjadi seorang aktivis parpol. Pemberdayaan masyarakat adalah kata kunci.

Maka kamar tua ini pun untuk selanjutnya menjadi ajang sekaligus saksi bisu, selain kantor tempat tugas saya yang terletak di bagian lain kota Ende, tentang geliat dan dinamika suatu kelompok masyarakat sipil yang kritis untuk menyelisik dan kemudian menilai bahwa rezim yang sedang memerintah tak bisa lagi terus dibiarkan membelenggu kedaulatan rakyatnya.

Bahwa martabat dan kehormatan Bung Karno sebagai pejuang sekaligus proklamator kemerdekaan, peletak dasar falsafah negara Pancasila dan presiden pertama Republik Indonesia harus segera dipulihkan kembali. Penghormatan dan penghargaan baginya adalah justru bagian integral dari harga diri bangsa. Menjunjung tinggi martabat serta peran sejarah beliau sebagai ‘founding father’ adalah wujud dari keberadaban negara.

Di kamar inilah, tanpa jadwal tanpa bikin janji, bermacam-macam orang bebas datang dan pergi, dan leluasa berkomunikasi. Ada aktivis sosial, ada pimpinan dan anggota parpol, baik kader muda maupun sepuh dan veteran. Ada aktivis organisasi mahasiswa, ada pula pejabat pemerintah yang peka dan ikut prihatin akan situasi. Ada orang kota yang ingin bertukar pendapat dan ada pula orang-orang dari desa nun jauh yang mampir sekadar curhat. Tak hanya dari Ende dan kawasan wilayah kabupatennya, tapi juga kerap tak terduga dari daerah kabupaten lain, dari ibukota provinsi bahkan dari pusat negeri.

Mereka datang sambil membawa cerita perjuangan melawan tekanan dominasi bahkan intimidasi sosial-politik yang sedang terjadi, namun tak jarang dengan ringan berlangkah pergi membawa harapan. Bukan lantaran di kamar tua ini sudah tersedia harapan untuk dibawa pulang, tetapi karena seusai percakapan dari hati ke hati timbullah kesadaran akan potensi diri untuk mengatasi beban situasi, dan muncul optimisme serta keyakinan bahwa pada suatu saat ketabahan perjuangan akan membawa hasil.

Kamar tua yang selalu terbuka, tempat siapa pun bebas berbicara, ketika di luar sana orang memilih diam dan tak mau bikin perkara ... (Foto Henri Daros)

Kamar tua yang selalu terbuka, tempat siapa pun bebas berbicara, ketika di luar sana orang mesti memilah-milah cerita agar tak jadi biang perkara … (Foto Henri Daros)

******

‘Ketika Bung di Ende’ Sebagai Orang Buangan Rezim Orba
dalam Aura Pigura dan Getar Semangat Pantang Menyerah

Betapa pun gencar dan sistematis upaya rezim Orba untuk menyingkirkan bahkan melenyapkan sosok Bung Karno dari memori kolektif bangsa, tokh tetap saja ada pelbagai wujud perlawanan atau ekspresi pembangkangan di kalangan warga masyarakat, sejauh ada warga yang memang berani melakukannya dan tak takut akan resiko. Terang-terangan memasang gambar, foto atau pigura Bung Karno adalah salah satunya. Murah, kasatmata, tak perlu keterampilan agitasi kata-kata. Namun di pulau Jawa, sekadar sebagai contoh, selain di Blitar konon tak banyak tempat di mana warga berani melakukannya secara terbuka.

Apabila pada periode itu gambar-gambar ekspresif Bung Karno dalam ukuran besar yang terlihat di Blitar terlihat pula di Ende, bergantungan di kamar tua ini, bahkan di kantor, tentu saja dibutuhkan keberanian ekstra untuk memasangnya, mengingat suasana yang lebih represif di daerah luar Jawa. Situasi ekstrem tersebut sesungguhnya sudah diperhitungkan dan diantisipasi pula. Lantas, apakah perasaan direstui dan disemangati oleh Bung Karno, melalui kehadiran gambar-gambar itu, yang membuat percakapan di kamar tua ini selalu hangat, diskusi-diskusi mengalir dan semangat reformasi berkecambah, wallahualam!

Namun, getar batin yang membuat aneka pigura Bung Karno di kamar tua ini menjadi hidup dan berbicara justru berasal dari para anak buah dan sahabat Bung Karno sendiri. Saya sudah sempat menyebutkan nama mereka di bagian depan catatan ini. Pertama, Bapak Djae Bara, tamu reguler saya. Ceritanya jelas, ingatannya terkesan jernih. Setiap kali memandang gambar Bung Karno, nostalgianya seakan kambuh, dan kisahnya bersambung kembali. Kedua, Bapak Ruslan Ottoh alias Iros. Bapak Iros memang hanya sesekali bertamu akibat gangguan kesehatannya. Tak banyak bercerita dan terlihat gagap menggali kembali kenangan lama. Sering terdiam sendiri, seperti coba mengingat-ingat sesuatu, sambil menatap pigura Bung Karno di dinding. Diam yang berbicara.

Meski sudah berusia lanjut, postur tegap Bapak Djae Bara masih terlihat. Saya lantas mengerti mengapa di luar peran tonil dia pun bertugas sebagai pengawal Bung Karno. Bapak Iros, dengan kulit terang dan postur kecil mungil langsung membenarkan cerita mengapa dia selalu membawakan peran perempuan dalam semua sandiwara yang dikarang oleh Soekarno. Namun sesungguhnya mereka sendiri tidak banyak bercerita tentang peran mereka masing-masing. Apa saja yang dilakukan Soekarno selama berada di Ende, termasuk yang dilakukan bersama kelompok mereka, itulah yang selalu menjadi topik dari waktu ke waktu.

Adegan film 'Ketika Bung di Ende' saat latihan tonil yang dipimpin oleh Bung Karno, dibawakan oleh aktor Baim Wong, yang berlokasi di pendopo tengah Kompleks Santo Yosef (Foto Henri Daros)

Adegan film ‘Ketika Bung di Ende’ saat kelompok tonil berlatih, dipimpin oleh Bung Karno yang diperankan oleh aktor Baim Wong. Adegan latihan ini berlangsung di pendopo tengah Kompleks Santo Yosef, berdampingan dengan kamar tua tempat pengambilan adegan Bung Karno menekuni bacaan dan berbincang-bincang dengan Pater Huijtink (Foto Henri Daros)

Sesungguhnya, selain Bapak Djae Bara dan Bapak Iros, ada seorang lagi anggota toneel club yang ketika itu masih hidup dan berdomisili di Ende, yaitu Bapak H. Umar Gani. Dengan bantuan informasi Bapak Djae Bara saya pernah sekali waktu menjenguk Bapak Umar di bilangan rukun tetangga Paupanda tempat tinggalnya. Bahkan ada seorang lagi dari antara anggota Toneel Club Kelimoetoe itu, atau aslinya ‘Gelimoetoe‘ menurut Bapak Djae, yang juga masih hidup, yaitu Bapak Riwu Sawu. Namun yang disebut terakhir ini berdiam di Kupang.

Menjelang akhir tahun 1992 Bapak Djae Bara memang menyempatkan diri menyusun daftar nama lengkap ke-49 orang anggota Klub Tonil Gelimutu yang lalu diberikannya juga kepada saya sebagai bahan informasi, dan masih tersimpan baik hingga saat ini. Kadang-kadang ada anak, sanak atau kerabat dari para anggota klub tonil yang sudah meninggal mampir bertamu ke kamar tua ini sambil memperkenalkan diri, mungkin setelah mendengar dan mengetahui kedekatan saya dengan Bapak Djae Bara yang mereka hormati juga sebagai sesepuh.

Namun sesungguhnya sudah sejak awal Bapak Djae Bara seakan menjadi ‘juru bicara’ mereka juga. Kegelisahan, keprihatinan bahkan kekhawatiran dan rasa takut mereka dalam menjalani hidup sehari-hari di tengah simpang-siur isu-isu negatif tentang Soekarno yang disebarkan oleh aparat pemerintah dan kaki-tangan rezim Orba sudah sering disampaikan oleh Bapak Djae.

Ditakut-takuti agar mereka tidak bergabung dalam keanggotaan partai berhaluan nasionalis karena dianggap pro-Sukarno, itu pun sudah sering diceritakan. Kamar tua ini lantas menjadi tempat meringankan beban batin. Sebagaimana Bapak Djae Bara dan Bapak Iros, mereka adalah warga Muslim yang taat dan bersahaja. Kedekatan dengan seorang ‘ulama’ Katolik yang selalu bersedia mendengarkan dan tegas mendukung mereka, di daerah dengan mayoritas penduduk Katolik pula, agaknya menjadi sumber peneguhan juga. Timbul rasa percaya diri dan keberanian untuk menghadapi tekanan.

Intimidasi politik rezim Orba pada waktu itu sesungguhnya tak hanya dialami oleh warga masyarakat yang kebetulan berdiam di kota sebagaimana diceritakan di atas. Warga desa wilayah pedalaman pun mengalaminya dan kamar tua ini pun menjadi saksi setianya. Seorang pastor tua asal Belanda, yang sudah sangat lama bekerja melayani umat Katolik di paroki perbatasan Kabupaten Ende dan Kabupaten Sikka, pada suatu ketika mengatakan bahwa beberapa warga parokinya sedang giat menyuntikkan keberanian kepada warga lain di parokinya melawan intimidasi aparat. Konon setelah mereka mampir berbincang-bincang di kamar saya sehabis berbelanja di Ende. Wah!

Saya lantas teringat bahwa memang warga wilayah pedalaman pun sering berkunjung dan menceritakan pengalaman mereka. Tak hanya dari wilayah paroki di pantai utara Ende, di mana saya sendiri pernah bertugas tak lama setelah menamatkan studi di Ledalero, tetapi dari desa-desa lainnya juga, termasuk dari wilayah yang disebutkan di atas. Isu bahaya laten komunis sangat gencar disebarkan dan nama Bung Karno pun dibawa-bawa.

Antara lain bahwa di antara partai politik yang ada saat itu terdapat juga partai pengusung paham komunisme, dikaitkan dengan Bung Karno yang dikatakan merestui adanya partai komunis di Indonesia yang memberontak pada tahun 1965. Menjadi anggota parpol tertentu itu berarti memasukkan diri dalam daftar hitam politik dan akan langsung tercatat sebagai warga yang patut dicurigai, dan sewaktu-waktu harus menanggung akibatnya.

Saya selalu coba menanggapi keresahan mereka sambil tersenyum, sekadar untuk meneguhkan mereka agar tetap tenang,  sambil menjelaskan bahwa isu-isu tersebut sama sekali tidak benar. Tak lain dari taktik intimidasi sebuah rezim yang kerdil dan panik yang mau melestarikan kekuasaan, dan karena itu tidak perlu dicemaskan. Para aparat dan kaki-tangan yang menyebarkan intimidasi itu pun boleh jadi tak menyadari dan tak paham benar perintah yang mereka jalankan.

******

bung-karno.6

Ir. Soekarno, populer dan akrab disapa Bung Karno, Penggali Pancasila, Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia

******

Ketika Saya Diminta Menurunkan Bung, di Ende

Pada bagian akhir kisah kilas balik ini saya ingin sejenak memindahkan lokasi peristiwa. Bukan lagi di kamar tua di Kompleks Santo Yosef itu, tapi di kompleks perkantoran tempat saya bertugas ketika menetap di Ende. Beberapa unit kantor penerbitan media ada di kompleks tersebut dan seluruh warga Ende, dari anak-anak hingga orang dewasa, mengetahui baik lokasinya. Selama kurang-lebih 15 tahun hingga saya hijrah ke Nippon pada tahun 2000, Pimpinan Provinsi SVD Ende sebagai pemilik mempercayakan manajemen umum seluruh unit media tersebut di bawah tanggungjawab saya.

Saya mengajak pembaca berpindah lokasi sejenak karena perikop ‘Ketika Bung di Ende Sebagai Orang Buangan Rezim Orba’, yang sudah diangkat di depan, sesungguhnya ibarat benang merah yang merentang, samar tapi tegas, di antara dua tempat tersebut. Percik-percik energi sebagai arus balik terhadap tekanan rezim pun mengkristal di tempat ini. Tak hanya tatap muka dan bincang-bincang tak resmi yang sering berlangsung di ruang kerja saya, biasanya di luar jam kantor, tapi juga dan justru banyak pertemuan resmi berlangsung di aula yang cukup representatif di salah satu unit media penerbitan di kompleks ini, yaitu di Aula Penerbit Nusa Indah.

Di dinding aula itulah, yaitu pada salah satu sisi lebar, dipasang pigura Bung Karno, atau Soekarno, Presiden Pertama RI. Pada sisi lebar yang lain, berhadap-hadapan dengan pigura Soekarno, terpasang pigura Suharto, presiden yang lagi menjabat saat itu. Sedangkan di sisi dinding memanjang, pada ketinggian di belakang kursi dan meja pimpinan pertemuan, terpasang pigura tunggal, yaitu pigura Garuda Pancasila. Selain dalam aula, sebuah gambar Bung Karno berukuran besar tergantung pula di dinding salah satu koridor utama kantor.

Inilah aula kantor yang dengan sengaja direlakan juga penggunaannya kepada kelompok-kelompok yang tidak punya tempat untuk melangsungkan kegiatan pertemuannya. Termasuk kelompok organisasi sosial-politik dan organisasi kemahasiswaan yang terpaksa mesti mencari tempat aman untuk berkumpul akibat selalu dipantau oleh aparat rezim yang berkuasa. Ketika kadang-kadang saya sendiri diminta untuk berceramah, tentu saja aula inilah yang digunakan.

‘Minta izin’ adalah kata keramat ketika itu. Namun, memperoleh izin sekaligus berarti membiarkan pertemuan dibuntuti polisi, kegiatan organisasi diteliti, dikontrol dan disensor habis-habisan, atas nama ‘ketertiban dan keamanan’. Jabatan sospol yang sangat populer disebut-sebut pada waktu itu, dan biasanya diisi oleh personil militer, tampaknya merupakan ujung tombak untuk mengamankan rentang kendali rezim pusat di daerah, dari tingkat provinsi dan kabupaten hingga ke desa-desa. Tentu saja, di tempat ini, kegiatan apapun yang oleh organisasi sendiri dipandang sebagai kegiatan rutin, tidak pernah dilaksanakan dengan minta izin pihak sospol atau aparat keamanan. Saya kadang bergurau bahwa akal sehat dan kecerdasan para aktivis sendirilah yang harus menjadi tolok ukur ketertiban dan keamanan.

Memasang pigura apapun di aula dan ruang-ruang kerja kantor seperti ini pun, yang notabene berstatus swasta, terserah pada akal sehat dan kebijakan pemiliknya. Sama sekali tidak terikat pada peraturan wajib yang diberlakukan untuk kantor-kantor pemerintah apabila memang ada peraturan untuk hal itu. Maka, pihak-pihak berbeda yang dengan akal sehat saling menghormati kebijakan mandiri pihak lain adalah ibarat ruas ketemu buku, serasi sederajat tanpa masalah.

Tak ada masalah, misalnya, ketika sekurang-kurangnya dua kali seorang tokoh penting nasional sekaligus ketua umum suatu partai politik dari Jakarta, yang juga menjabat salah satu unsur pimpinan MPR, melangsungkan pertemuan di aula kantor ini. Juga ketika ada anggota DPR pusat mampir berceramah. Atau ketika ada instansi pemerintahan setempat yang selain minta kesediaan saya memberikan ceramah dalam rangka kegiatan instansi, juga sekalian meminjam tempat. Demikian sekadar menyebut satu-dua contoh peristiwa resmi yang tentu saja telah dilangsungkan dengan izin resmi pula.

Hingga pada suatu ketika datang permintaan dari pihak kantor bupati, meneruskan informasi sekaligus permintaan dari pihak kantor gubernur di pusat provinsi. Dalam rangka kunjungannya gubernur ingin menggunakan kesempatan untuk menjelaskan pelbagai segi dan dinamika pelaksanaan program pembangunan Provinsi NTT yang termuat dalam sebuah buku baru yang dicetak pada Percetakan Arnoldus di Ende. Permintaan untuk menggunakan aula di kantor ini tentu saja langsung dikabulkan dengan segala senang hati.

Sehari sebelum kedatangan gubernur, pejabat protokoler kantor gubernur yang tampaknya disertai oleh petugas protokoler kantor bupati setempat mampir ke kantor ini untuk memeriksa keadaan aula, didampingi oleh staf saya. Semuanya tampak beres ketika mereka pamit sehabis pemeriksaan, namun tak lama kemudian dua petugas protokoler kantor bupati muncul kembali. Dengan mimik yang tampak serius, sambil saling memandang untuk saling meyakinkan, mereka menyampaikan permintaan pejabat protokoler kantor gubernur agar sebelum pelaksanaan acara ini pigura Soekarno yang terpasang di dinding aula hendaknya sudah diturunkan. Tak salah lagi, diturunkan, itulah kata yang masuk telak ke telinga saya.

Saya mendengarkan mereka dengan reaksi antara kaget dan maklum. Kaget karena berpikir mereka tokh sudah selesai melakukan pemeriksaan, lalu pamit sambil mengucapkan terima kasih. Jadi, tak ada masalah. Maklum, karena langsung sadar, bahwa memang mereka adalah bagian dari rezim Orba yang sedang berkuasa, dengan segala manuver, trik dan intriknya yang sudah umum diketahui. Sekaligus langsung disadari pula bahwa sesungguhnya hal seperti ini sudah diantisipasi juga. Namun, menyadari bahwa mereka hanyalah orang-orang suruhan, saya tidak membuang-buang waktu untuk berargumentasi selain dengan halus minta agar jawaban saya tolong diteruskan juga kepada sang pejabat protokoler dari kantor gubernur itu.

Jawaban yang sederhana saja. Bahwa sambil menghargai permintaan tersebut, kami sebagai tuan rumah pun merasa perlu menyampaikan saran balik untuk secepatnya dipertimbangkan, khusus untuk acara yang akan berlangsung, agar sebaiknya dan seadilnya cukup satu pigura yang terpasang di aula, yakni pigura Garuda Pancasila. Setelah menyimak jawaban saya, dan tampaknya sambil memahami pula apa maksudnya, kedua utusan lantas mohon pamit. Tak jelas benar apa yang terjadi sesudahnya, namun seingat saya tak ada lagi tanggapan balik pada hari itu. Pertemuan keesokan harinya pun, yang dipimpin langsung oleh gubernur sendiri, seingat saya berjalan lancar sebagaimana sudah direncanakan.

Pemandangan laut pantai selatan kota Ende yang terbentang di depan Lapangan Pancasila dan Taman Bung Karno serta Pohon Sukun-nya, tampak dari depan kamar tua di ujung bukit Kompleks St. Yosef itu ... (Foto Henri Daros)

Pemandangan laut pantai selatan kota Ende yang terbentang di depan (sekarang) Lapangan Pancasila dan Taman Bung Karno serta Pohon Sukun dengan patung Bung Karno dalam posisi duduk merenung di bawah rindang daunnya, tampak dari depan kamar tua di ujung bukit Kompleks St. Yosef itu … Ketika Bung di Ende pun, dulu, dari depan kamar di ujung bukit ini, panorama laut selatan yang bergelora itu pernah dinikmatinya juga. (Foto Henri Daros)

******

Ketika Bung di Ende, di Kamar Ini: Lebih Dari Sekadar Sejarah

Demikianlah jejak-jejak kisah ‘ketika Bung pada suatu masa hadir kembali di Ende’. Khususnya jejak-jejak pijak yang kemudian, bahkan hingga saat ini, tak terlacak oleh orang banyak, dan dengan ilham serta spirit juang yang tak terendus oleh umum. Kisah kilas balik ini mungkin bisa mengingatkan bahwa tentang seorang Bung Karno, di Ende, resonansinya ternyata tak kurang nyaring dari apa yang telah terungkap dalam pelbagai buku atau narasi. Juga, bisa saja, tak kurang berwarna-warni dari apa yang ditampilkan di layar film dokumenter paling baru ‘Ketika Bung di Ende’ itu. Ya, lebih dari sekadar catatan sejarah dan pentas ulang peristiwa. Suatu undangan refleksi, selain upaya mengurai dimensi.

******

Soekarno duduk merenung di bawah pohon Sukun ... Ketika butir-butir Pancasila bagai benih-benih halus mulai berkecambah. (Foto Henri Daros)

Monumen peringatan saat Soekarno duduk merenung di bawah pohon Sukun … Ketika butir-butir Pancasila bagai benih-benih halus mulai berkecambah, di Ende. (Foto Henri Daros)

******

[ Bersambung / Bagian terakhir draft naskah cerita kenangan ini masih berlanjut, menunggu waktu luang ….  Maklum merupakan cerita kilas balik yang mesti coba diingat kembali sebaik-baiknya. Terima kasih! ]

******

Nagoya, Jepang, 14 Januari 2015
Mengenang 81 Tahun Bung Karno 
Tiba Pertama Kalinya di Ende, Flores / Indonesia
Sebagai Tempat Pengasingan Politik
pada 14 Januari 1934

Henri Daros

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Comments

  • Chigan DeeNine  On July 5, 2015 at 4:15 pm

    Numpang tanya, kira2 Biara St. Yosep dibangun thun brpa?? sy mhasiswa arsitektur, kbtulan ada tugas ttg konservasi bangunan tua di ende.dan sy pilih Biara St. Yosep, krna bangunan yg lain sdh diambil tman2. kmarin sy tnya sama rektor biara katanya kira2 thun 1933. mungkin ada data2 yg lengkap. mohon bantuannya. terimaksih.

    • Henri Daros  On July 5, 2015 at 6:09 pm

      Sebaiknya bertanya ke Sekretariat Provinsi SVD Ende. Gedung / kantornya terletak di ujung utara bukit Biara St. Yosef, Ende. Saya sendiri saat ini bertugas di luar negeri (Jepang) sebagaimana bisa anda baca pada tulisan di atas. Kantor Sekretariat Provinsi SVD Ende tentu punya arsip tentang sejarah awal bangunan Biara St. Yosef juga. Terima kasih.

Leave a reply to Henri Daros Cancel reply