KENANGAN MENGHADIRI ACARA PELUNCURAN BUKU
PADA HARI ULANG TAHUN KE-76 IBU NH. DINI
SEMARANG, 29 FEBRUARI 2012
******
Karangan bunga ucapan selamat pada HUT ke-76 Bu Dini … (Foto: Henri Daros)
******
Tahun Kabisat, Tak Sekadar Lewat
Tahun 2012 adalah Tahun Kabisat. Pada tahun ini Kalender Masehi mencantumkan satu tanggal langka yakni tanggal 29 Februari. Ya, sekali dalam empat tahun tanggal ini muncul di kalender Anda. Tak banyak orang yang hari kelahirannya jatuh pada hari ini.
Dengan demikian tak banyak juga orang yang merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal ini. Mereka pun merayakan hari kelahiran hanya sekali dalam empat tahun. Bisa disebut sebagai ‘orang-orang langka’, dalam pengertian ini.
Satu di antara ‘orang-orang langka’ itu ialah Nh. Dini, novelis terkenal Indonesia yang tidak asing lagi namanya. Orang yang saya hormati, teristimewa setelah mengenalnya lebih dekat berkat kesempatan yang mungkin juga langka, sampai boleh saling menyapa sebagai sahabat.
Oleh karena itulah Tahun Kabisat 2012 ini, bagi saya, tak dibiarkan lewat begitu saja tanpa catatan tentang ‘orang langka’ dan peristiwa di ‘tanggal langka’ itu.
******
Bu Dini mengucapkan selamat datang kepada para peserta yang menghadiri acara peluncuran bukunya yang terbaru … (Foto: Henri Daros)
******
Figur Khas di Hari Ibu Tahun Kabisat
Sudah pada awal Tahun Kabisat ini saya ingin membuat catatan khusus tersebut, karena teringat bahwa Bu Dini akan merayakan hari ulang tahun kelahirannya pada tanggal langka tahun ini. Diwujudkan menjelang akhir tahun sebagai bagian dari rasa syukur atas semua yang telah berlangsung selama setahun silam, termasuk syukur atas kesempatan bisa menjumpai Bu Dini pada hari istimewa itu.
Dengan sengaja pula saya memilih hari khusus ini, yaitu ‘Hari Ibu’ di Indonesia, untuk mengangkat figur khas Nh. Dini, karena sangat kuat terkesan bahwa Nh. Dini, novelis dan penulis cerita yang amat produktif itu, kendati berjadwal kerja sangat ketat toh tetap selaras menghayati peran dan tugas keibuannya. Meski Lintang putrinya dan Padang putranya sudah berdiri sendiri, dan hidup jauh di luar negeri, Bu Dini di mata saya tetaplah seorang Ibu yang penuh keibuan dalam sikap, tutur kata dan aktivitas kesehariannya.
Karakter keibuan yang khas itu pun tak hanya tampak dalam mengurus ‘rumah tangga’-nya sendiri setiap hari, misalnya dalam ketelatenan dan kecermatan untuk menangani kebutuhan hidupnya, atau kepekaan untuk merawat lingkungan yang hijau, asri dan bersih, sebagaimana yang pernah saya saksikan sendiri di tempat kediamannya di Kawasan Lansia Sendowo, Graha Wredha Mulya, Sleman, Jogja, tapi juga dalam menghayati kerja kreatifnya sebagai penulis novel dalam pelbagai aspeknya, serta kepekaan akan tanggung jawab sosial yang memahat nilai tambah pada kreativitas itu.
Mendirikan taman bacaan bagi anak-anak pra-remaja dan remaja misalnya, yang diberi nama ‘Pondok Baca Nh. Dini’, berawal dari Sekayu kota asalnya di Jawa Tengah lalu didirikan pula di beberapa kota lain termasuk Jogja, bagi saya tak lain tak bukan adalah kombinasi wujud ‘kepedulian keibuan’ dan tanggung jawab sosial tersebut. Ini sekadar menyebut satu contoh.
******
Bercerita bahwa Bu Dini pernah mengisi mimbar kuliah pada Jurusan Studi Asia Universitas Nanzan, Nagoya/Jepang setelah menerima ”SEA Write Award” di Bangkok/Thailand pada bulan Oktober 2003 … (Foto diambil oleh salah seorang sahabat Bu Dini)
******
Maka, jika boleh memilih ‘Ibu Teladan’ di Tahun Kabisat ini, hemat saya Bu Dini adalah figur yang tepat. Figur ibu yang bisa menjadi ilham bagi para ibu angkatan muda, baik dalam konteks peran keibuan maupun dalam konteks profesi yang dijalankan.
Tak kurang pula, Bu Dini adalah figur yang berhasil membuktikan kepada masyarakat tentang besarnya dampak aktual potensi kaum perempuan yang bergerak mandiri di sektor kerja swasta, sambil menerobos sekat-sekat sosial yang tidak adil dan stereotip gender yang membias.
Sambil mengakui diri sebagai perempuan biasa dengan latar belakang budaya Jawa yang kental, Bu Dini sesungguhnya telah mengambil langkah terobosan dengan menggugat sekat-sekat sosial yang tidak adil itu melalui novel-novelnya, yang membuat sementara kritikus sastra menyebutnya sebagai penulis feminis. Predikat yang tentu saja terbuka untuk diperdebatkan.
O ya, sebagaimana diisyaratkan pada sub-judul di atas, ikutilah sejenak kisah pengalaman saya tentang peristiwa yang menandai hari ulang tahun ke-76 Bu Dini pada tanggal 29 Februari 2012 yang lalu, tanggal langka yang cuma sekali dalam empat tahun itu.
******
Bahwa dua novel Bu Dini yang ber-‘setting’ Jepang merupakan daya tarik tersendiri buat para mahasiswa pembelajar sastra Indonesia di Jepang … (Foto diambil oleh salah seorang sahabat Bu Dini)
******
Pesan Menjelang Akhir Pekan
Saat itu, di Jakarta, Jumat malam, 24 Februari 2012.
Sudah lewat beberapa hari saya meninggalkan Nagoya, Jepang. Kegiatan di Jakarta pun sudah berakhir. Tanggal 25 sudah harus terbang ke Jogja karena tanggal 26, malam hari, harus menjemput serombongan besar mahasiswa kami dan seorang rekan pengajar yang tiba dari Nagoya. Seluruhnya 30 orang, dan anak-anak muda itu akan menjalani program bahasa dan budaya selama 3 minggu di Jogja, berpangkalan di Universitas Sanata Dharma.
Ritus biasa saat dalam perjalanan, sekurang-kurangnya sekali sehari, biasanya pada waktu malam, ialah memeriksa e-mail yang masuk, kalau-kalau ada hal-hal penting yang perlu ditanggapi atau ditangani, apalagi menjelang tibanya para mahasiswa kami di Indonesia.
******
Bu Dini sempat menyela: ”Doakan saya juga supaya tetap sehat, romo … ” (Foto diambil oleh salah seorang sahabat Bu Dini)
******
Tak terduga, di antara sejumlah e-mail terbaca nama pengirim Nh.Dini. Saya langsung membukanya. ”Salam sejahtera Romo … “. demikian Bu Dini menyapa. Jelas sekali, dalam baris-baris selanjutnya, Bu Dini mengira saya sedang berada di Nagoya. ”Kapan menengok tanah air lagi?”, tulisnya. “Kabari dan mampir ya”, tambahnya lagi.
Tapi, ada berita penting sesungguhnya. Bu Dini mengabarkan bahwa bukunya yang terbaru, sebuah cerita kenangan, berjudul ‘Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang’, akan diluncurkan pada tanggal 29 Februari di Gramedia Hotel Amaris, Jl. Pemuda, Semarang. Acara akan dimulai pada pukul 2 siang.
******
Bu Dini penuh perhatian mendengarkan ulasan atas bukunya … (Foto: Henri Daros)
******
Kecuali pertanyaan di akhir e-mail, yaitu ”kapan menengok tanah air lagi”, tak tercantum secara eksplisit undangan atau harapan untuk hadir, tentu saja, karena saya tokh dikira lagi duduk manis di negeri orang. Sibuk dengan tugas pula. Cuma tercantum permohonan agar berita ini diteruskan kepada semua teman di Jepang.
Sama sekali tak disinggung juga soal hari ulang tahunnya yang jatuh pada tanggal 29 Februari itu. Sudah bisa saya duga, tapi memang Bu Dini tak perlu mengatakannya lagi.
Seketika timbul rasa bersalah. Dalam suatu kesempatan berkomunikasi lewat telepon genggam ketika saya berada di Jogja untuk suatu kegiatan, saat Bu Dini di luar dugaan saya ternyata sudah berpindah tempat tinggal dari Jogja ke Ungaran, saya sudah sempat berjanji akan mengunjunginya di kota kediamannya yang baru itu. Bahkan berencana menginap di Ungaran sebagaimana disarankannya, agar cukup waktu untuk berbincang-bincang sebagaimana ketika beliau tinggal di Jogja. Janji itu belum juga digenapi.
******
Yudiono Ks, moderator acara ‘talkshow’ … (Foto: Henri Daros)
******
Lantas, inikah saatnya yang tepat? Hmmm, sabar! Tanggal 29 Februari itu baru merupakan hari ketiga kegiatan mahasiswa kami di Jogja. Saya dan seorang rekan pengajar yang lain (orang Jepang, profesor dengan spesialisasi tentang Islam di Indonesia) harus mendampingi mereka. Tugas resmi dari kampus, tentu saja. Tak elok rasanya jika para mahasiswa ditinggal pergi. Apalagi semuanya baru pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia.
Di pihak lain, inilah justru saat yang tampan, untuk tidak mengatakan saat yang tepat, mengunjungi Bu Dini pas pada hari ulang tahunnya, sekaligus pada acara peluncuran bukunya yang terbaru. Saat yang tampan, memang, untuk melunasi utang janji, meski ternyata masih cukup sulit juga untuk memenuhinya.
Tugas pokok, apalagi ketika harus dijalankan jauh dari kampus, itulah pilihan yang akhirnya diutamakan. E-mail Bu Dini pun rasanya tak perlu keburu dibalas. Hari-hari berikutnya pun, dari Jogja, asalkan sebelum tanggal 29 Februari, tidak menjadi soal. Sekalian mengucapkan selamat ulang tahun dan proficiat atas peluncuran buku baru tersebut.
******
Prof. Eko Budihardjo, pembahas … (Foto: Henri Daros)
******
Antara Kabar dan Ikhtiar, Antara Niat dan Manfaat
Di tengah kesibukan yang padat pada hari-hari pertama bersama para mahasiswa di Jogja, dikirimlah kabar melalui e-mail kepada Bu Dini di Ungaran.
Bagian yang mungkin saja mengagetkan tapi menggembirakan dari kabar tersebut buat Bu Dini ialah bahwa saya ternyata sedang berada di Indonesia, di Jogja pula. Hanya beberapa hari sebelum tanggal acara peluncuran buku di Semarang, tak jauh-jauh amat dari Jogja.
Namun langsung disusul oleh informasi yang sangat boleh jadi langsung meredupkan harapan, yaitu bahwa saya sedang terikat oleh suatu kegiatan lain yang tidak bisa ditinggalkan, meskipun hal itu pasti sangat dimaklumi oleh Bu Dini. Hati saya pun dikuatkan oleh keyakinan tersebut.
Tapi, entah mengapa, saya tetap pula berikhtiar mencari jalan keluar, dan pikiran itu tidak sedikit pun mengganggu konsentrasi pada kesibukan kegiatan yang sedang berlangsung. Selalu terbersit dalam pikiran, tapi terasa enteng tanpa jadi beban.
******
Bu Dini menanggapi para hadirin yang bertanya … (Foto: Henri Daros)
******
Sampai pada suatu saat, sehabis memperbincangkan kegiatan mahasiswa yang sudah berlangsung, bersama rekan pengajar dari Jepang itu, tercetus begitu saja cerita tentang rencana acara peluncuran buku baru Bu Dini di Semarang dan keinginan untuk menghadirinya andaikata ada sedikit waktu bebas …
”Pak Daros kenal baik Bu Dini kan … ? Bagus sekali kalau Pak Daros bisa hadir di sana!”. Tak yakin akan apa yang baru saja saya dengar, saya coba menyambung kembali dengan komentar bahwa pada hari-hari pertama ini para mahasiswa tentu perlu didampingi sepenuhnya.
”Oh, tidak apa-apa, cuma sehari kan … Pendampingan para dosen dan tutor di sini untuk kegiatan utama mahasiswa kita, saya rasa sudah cukup sekali”, sambung rekan saya, ibu profesor yang juga Ketua Jurusan Studi Asia itu, jurusan yang memiliki Program Kajian Indonesia di mana saya menjadi staf pengajar.
Hadir pada peluncuran buku yang akan diisi dengan talkshow itu buat saya sesungguhnya merupakan kesempatan langsung untuk memperkaya informasi dan memperluas cakrawala tentang Kajian Indonesia bagi para pembelajar di luar negeri. Hal itu tidak saya utarakan secara eksplisit kepada rekan saya, namun manfaatnya memang sudah langsung disadari bersama.
Isyarat persetujuan itu saya terima pada tanggal 28 Februari, Selasa sore menjelang malam. Terlampau mahal untuk sampai batal hanya karena, misalnya, tetek-bengek urusan perjalanan yang sudah mesti dilakukan pada pagi hari berikutnya, Rabu tanggal 29 Februari, tanggal nan langka itu.
******
Tampak sebagian hadirin … (Foto: Henri Daros)
******
Jogja-Semarang Pergi-Pulang
Ini perjalanan langka, demikian saya membatin. Tanggal 29 Februari cuma sekali dalam empat tahun. Maka segala tetek-bengek yang berkaitan dengan perjalanan sudah langsung dibereskan pada malam harinya. Mobil dan pengemudi pun sudah dijamin beres oleh pihak hotel tempat menginap. Mobilnya sudah dilihat langsung, pengemudinya pun sudah diperkenalkan. ”Beres, pak”, demikian kata seorang petugasnya sambil mengacungkan jempol.
Rencana mengajak seseorang yang berminat biar jadi teman seperjalanan, termasuk memilih satu-dua di antara para mahasiswa kami yang punya minat khusus sastra, akhirnya batal akibat waktu persiapan yang terlampau singkat.
Satu saja hal penting, perjalanan di hari dan tanggal langka, untuk menghadiri hajatan seseorang yang berhari ulang tahun langka pula, tak boleh terhambat apalagi batal oleh alasan yang tidak penting. Sang pengemudi yang diinformasikan tak hanya piawai dalam seluk-beluk mobil tapi juga tamatan sebuah universitas terkenal di Jogja dan punya minat sosial-budaya yang luas, oleh pihak hotel dijamin akan sekaligus menjadi pemandu yang andal dan teman ngobrol yang tepat di perjalanan.
Perjalanan memang sudah terasa nyaman sejak awal. Syukur kepada Tuhan. Sesungguhnya bukan baru pertama kalinya saya menempuh rute ini, hanya saja beda arah. Paruh kedua tahun 80-an saya pernah menempuh perjalanan dengan bus dari Jakarta ke Jogja, lewat Semarang, dalam suatu perjalanan tugas.
Ketika itu Majalah Dwi-Mingguan DIAN di Ende/Flores baru saja berubah status menjadi Surat Kabar Mingguan (SKM) DIAN, yang oleh Menteri Penerangan Harmoko, dengan dukungan penuh Gubernur NTT Ben Mboi, dilibatkan pula dalam Program Nasional KMD (Koran Masuk Desa).
Keterlibatan SKM Dian dalam Program KMD tersebut sudah dikukuhkan sebelumnya di Kupang dengan penandatanganan prasasti oleh Menpen Harmoko, yang disaksikan oleh Gubernur NTT Ben Mboi, dan diserahkan kepada saya selaku Ketua Yayasan Dian sebagai lembaga penerbit SKM Dian (bersama Majalah Bulanan Anak-Anak KUNANG-KUNANG).
Dalam kaitan itulah, sebagai tindak lanjutnya, saya mengikuti pertemuan serikat penerbit surat kabar di ibu kota, dan sesudah itu masih harus lagi ambil bagian pada suatu pertemuan asosiasi penerbit buku di Kota Gudeg selaku direktur Penerbit NUSA INDAH pada periode yang sama.
Kembali ke cerita rute perjalanan, selain beda arah, beda lainnya lagi ialah pada waktu itu saya menempuh perjalanan malam, dengan bus malam Jakarta-Jogja yang padat penumpang. Kalau saat itu saya tiba pagi di Jogja, maka kali ini saya berangkat pagi dari Jogja. Penumpang tunggal, hanya bersama sopir.
Indahnya Ibu Pertiwi dan subur serta kayanya Persada Nusantara tampak jelas sepanjang perjalanan Jogja-Semarang ini. Tak hanya panorama kekiniannya yang terbentang di depan mata saya, tapi kejayaan masa lalunya pun seakan tersembul kembali.
Dipandu oleh sang pengemudi yang tidak hanya menguasai berbagai kelokan sepanjang perjalanan, tapi terkesan tahu cukup baik pula tentang lika-liku ‘eco-tourism’ dan ‘ethno-tourism’ wilayah setempat, mozaik sosial-budaya-ekonomi kawasan ini, yang dari beberapa segi dapat dipandang sebagai miniatur Tanah Airku Indonesia, berhasil tersusun kembali di benak saya.
Sekilas timbul penyesalan mengapa tidak membawa serta, biar cuma seorang, mahasiswa kami dari Negeri Samurai itu agar bisa ikut menjadi saksi.
Sekilas juga muncul pertanyaan, seberapa makmurkah warga penghuni wilayah ini, dan akan terjaminkah warisan sumber daya asali persadanya bagi masa depan anak-anak mereka …
”Sore nanti waktu kembali ke Jogja, di beberapa tempat kita akan ambil jalur lain, pak … Nanti sebelum malam bapak bisa melihat banyak pemandangan alam yang tidak kurang indahnya juga … ”, demikian sopir meyakinkan saya.
Sangat terasa bahwa orang muda pengemudi mobil ini semakin menyadari minat tamunya, selain sejak awal sudah sangat tertarik oleh tujuan perjalanan, yakni menemui Nh. Dini, novelis favoritnya sejak remaja. Semalam di hotel pun rekan-rekannya sudah ramai berkomentar tentang keberuntungannya akan bisa melihat langsung sosok Nh. Dini, novelis favorit mereka yang belum pernah mereka jumpai selain hanya mengetahui namanya.
Kekagetan dan sekaligus luapan kegembiraan bisa melihat langsung Nh. Dini, dan bahkan berjabat tangan sambil menyalaminya, pernah saya saksikan pada suatu ketika di sebuah restoran hotel lain di Jogja, dan di lobi hotel itu, ketika saya menjemput Bu Dini untuk makan siang bersama sambil berbincang-bincang di sana.
Ketika itu saya sendiri sedang mengikuti sebuah pertemuan dan sekaligus menginap di hotel tersebut, sedangkan Bu Dini masih tinggal di Graha Wredha Mulya, wisma para lansia di bawah pengayoman permaisuri sultan. Berulang-ulang saya mendapat ucapan terima kasih karena sudah ‘mempertemukan’ mereka dengan Bu Dini, novelis kesayangan mereka.
Maka, perjalanan Jogja-Semarang pergi-pulang kali ini tak hanya penting dan langka buat saya sendiri, tapi juga menarik dan langka buat sang sopir dan rekan-rekannya di Jogja yang ikut menyukuri keberuntungannya, pada tanggal langka yang cuma sekali dalam empat tahun ini.
Namun, di atas segalanya, perjalanan yang nyaman dan selamat pergi-pulang, setelah akhirnya memperoleh kesempatan di tengah kesempitan, meski merupakan hasil keputusan mendadak dan tanpa persiapan, sungguh sudah menorehkan kisah pengalaman pribadi yang tak terlupakan.
******
Bu Dini menyerahkan buku barunya sebagai kenangan kepada salah seorang kakaknya … (Foto diambil oleh salah seorang sahabat Bu Dini)
******
Dua-Dua Terkejut, Kedudukan Satu-Satu
Acara belum dimulai ketika kami tiba di Gramedia Hotel Amaris, Semarang. Sopir sudah memperhitungkannya. Sambil istirahat sejenak, toko buku pun merupakan tempat yang baik untuk mengisi waktu.
Aula acara sudah hampir sebagian besar terisi ketika saya masuk ke sana. Di antaranya saya yakin ada para pegiat dan penggiat sastra, peminat bahkan para penggemar selain tamu undangan. ”Bu Dini sebentar lagi tiba”, kata penerima tamu. Meskipun sudah dipersilakan mengambil tempat duduk, saya minta diizinkan untuk tetap berdiri menunggu tokoh utama acara tersebut.
Saya mendekat, tersenyum, ketika Bu Dini akhirnya tiba, Sejumlah orang bersamanya. Terhenti sejenak, dengan sorot mata keheranan, Bu Dini menyambut uluran tangan saya. ”Romo … ?”, sapanya setengah tidak percaya, yang langsung saya iyakan sambil menyebut nama sejelasnya.
”Ini Romo Daros … dari Jepang”, katanya lagi kepada beberapa orang di sampingnya, yang ternyata antara lain dua orang kakak perempuannya yang tampak sudah berusia lanjut. Ada juga tamu perempuan orang Korea, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di negeri asalnya. Sambil bersalaman kami mengambil tempat di deretan kursi paling depan, bagian kanan, yang sudah disiapkan untuk tamu-tamu khusus Bu Dini. Saya dipersilakan oleh Bu Dini untuk mengambil tempat di situ juga.
Sambil menunggu dimulainya acara, Bu Dini meneruskan pertanyaan sambil menyatakan keterkejutannya akan kehadiran saya. ”Romo ada kegiatan di Jogja kan … ?” Demikian Bu Dini mengulangi informasi yang sudah saya sampaikan. Saya lantas menjelaskan bahwa saya bersyukur bisa mendapat kesempatan untuk hadir, tidak sebagaimana diperkirakan semula. Mendadak, sehingga tak cukup waktu lagi untuk berkabar. Bu Dini tampak gembira, dan saya pun lega.
Yudiono Ks, seorang penulis kajian sastra dan dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Undip yang menjadi moderator acara talkshow, bersama Prof. Eko Budihardjo, Rektor Undip tahun 1998-2006, sebagai pembahas buku, telah siap di depan ketika Bu Dini dipersilakan untuk menyampaikan kata sambutan pembukaan.
Tak dinyana, nama saya disebut dan sekaligus diperkenalkan kepada para hadirin. Lebih mengejutkan lagi, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu Bu Dini mendaulat saya untuk menyampaikan sepatah kata.
Terlintas sekilas, betapa Bu Dini secara pribadi menghargai kehadiran saya. Tentu saja nama saya tidak tercantum dalam daftar acara resmi siang itu. Moderator acara talkshow dan pembahas buku juga tidak mengenal saya. Hadirin, apalagi.
Hanya Bu Dini yang mengenal saya, dan saya pun hanya mengenal Bu Dini. Tapi Bu Dini dengan prakarsa dan caranya sendiri telah memperluas cakupan acara tersebut. Tanpa menyita waktu ekstra karena memang diselipkan dalam giliran kata sambutannya.
Dalam kaitan dengan pokok acara, jelas saya bukanlah orang yang pas untuk tampil bicara. Saya bukan pegiat, pengkaji, apalagi kritikus sastra, orang yang total menggumuli dunia sastra. Bu Dini pun tentu tahu baik hal itu.
Paling-paling, mungkin, dapat digolongkan pada kalangan awam penggiat sastra, meski hanya sampai pada tingkat tertentu dan terbatas. Yaitu mereka yang atas pelbagai cara ikut menggiatkan dan mendorong minat, perhatian serta benih kegairahan pada sastra, dalam hal ini sastra Indonesia.
Namun intuisi saya sekelebat mengingatkan hal lain. Isyarat penghargaan yang spontan dan tulus dari pihak Bu Dini sudah sangat jelas, maka tiba saatnya untuk membalas dengan penghargaan pula. Sikap penghargaan itu memang sudah ada dalam diri saya, dan inilah kesempatan untuk mengungkapkannya di hadapan orang banyak, pada kesempatan yang tampan pula.
Lagi pula, seseorang yang sebelumnya tidak diketahui dari mana rimbanya, tapi didaulat sendiri oleh Bu Dini untuk bicara, tentu banyak-sedikit akan didengarkan juga.
Maka, bertolak dari kata kunci yang saya ambil dari kata-kata Bu Dini juga ketika memperkenalkan dan mempersilakan saya bicara, kesempatan singkat namun berharga itu saya gunakan untuk bercerita pertama-tama tentang Universitas Nanzan di Nagoya, Jepang, yang pernah mendapat kehormatan menjadi tuan rumah buat Bu Dini pada bulan Oktober 2003.*
Pada waktu itu, dalam perjalanan kembali ke Indonesia setelah menerima ”South-East Asia Writers’ Award” di Bangkok, Thailand, Bu Dini mengisi mimbar kuliah Jurusan Studi Asia Universitas Nanzan dengan ceramahnya tentang kiat-kiat menulis novel, sekaligus pemaparan pengalamannya sendiri di ranah kreatif tulis-menulis yang sarat nilai dan berwarna-warni.
Dengan demikian kepada para hadirin pun saya perkenalkan Universitas Nanzan yang memiliki Program Kajian Indonesia dan menaruh perhatian pula pada dunia sastra Indonesia, bahkan sekelompok besar mahasiswanya sedang berprogram di Indonesia, yaitu di Jogja, ketika acara di Semarang ini berlangsung.
Sempat teringat bahwa ‘Universitas Nanzan’ di Nagoya-Jepang itu pernah keliru ditulis sebagai ‘Universitas Nanyang’ yang ada di Singapura, di koran besar Indonesia pula, mungkin karena Singapura lebih dekat dengan Jakarta, maka kesempatan itu pun saya harap bisa menjadi salah satu peluang penyebaran informasi yang benar dan tepat.
Bu Dini sempat menyela pembicaraan saya dengan permohonan khusus untuk tetap didoakan agar selalu sehat-walafiat, sesuatu yang sudah barang tentu, yang secara khusus pula saya nyatakan pada akhir pembicaraan sebagai harapan saya dari lubuk hati terdalam.
Demikianlah, berawal dari keterkejutan dan ketakterdugaan pada kedua belah pihak, Bu Dini dan saya, suatu mata acara yang sama sekali tak diagendakan terlaksana juga akhirnya tanpa basa-basi protokoler pada siang hari itu.
******
Saya pun menerima buku baru tersebut dari tangan Bu Dini sebagai kenangan … (Foto diambil oleh salah seorang sahabat Bu Dini)
******
‘Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang’
Tidak salah lagi, itulah judul buku baru Nh. Dini yang diluncurkan pada siang hari itu. Setelah Bu Dini kembali mengambil alih ajang acara yang sudah saya isi sejenak, lalu mengakhiri sambutan pembukaannya, acara talkshow pun dimulai.
Pak Yudiono Ks dan Pak Eko Budihardjo sudah sangat siap untuk menjalankan tugasnya masing-masing.
Sebuah ‘cerita kenangan’, demikian Bu Dini sendiri menyebut buku baru tersebut, sebagaimana buku ‘Pondok Baca Kembali ke Semarang’ yang terbit sebelumnya, yaitu pada kesempatan hari ulang tahunnya yang ke-75, meski para kritikus sastra lebih suka dan selalu menyebutnya sebagai ‘novel otobiografis’.
Novel terbaru ini berisi cerita kenangan Bu Dini sejak saat tinggal di Paris, dengan alamat Rue Saint Simon, hingga berpindah alamat ke Jln. Lembang di Jakarta.
Isi buku yang ditulis dalam gaya khas Nh. Dini, yang oleh kalangan kritikus sastra pun diberi label khusus sebagai ‘realisme fotografis’ itu, dikupas tuntas pada kesempatan itu oleh Pak Eko Budihardjo yang tampaknya telah membacanya dengan teliti dari awal hingga akhir. Beberapa contoh gaya terus terang Nh. Dini melalui deskripsi blak-blakan di sana-sini dalam buku tersebut tidak luput diangkat.
Sebagaimana telah sering disampaikannya pada pelbagai kesempatan lain, cerita kenangan yang dipaparkannya itu tidak lain dari kisah nyata pengalaman hidupnya sendiri, berupa bagian-bagian yang sengaja dipilih dan dirasa patut untuk ditampilkan. Tak ada pretensi untuk menyampaikan pesan tertentu, terserah pada setiap pembaca untuk memaknainya.
Saya sendiri baru menikmati isi buku tersebut kemudian, setelah membacanya langsung dari buku baru yang dihadiahkan oleh Bu Dini sendiri buat saya di akhir acara peluncuran itu, sambil di sana-sini membandingkannya dengan catatan Pak Eko Budihardjo, mantan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah itu.
******
Dari Semarang ke Bandung?
‘Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang’, yes! Tapi, ‘Dari Semarang ke Bandung’?
Apakah itu sebuah judul untuk naskah baru cerita kenangan yang sedang disiapkan penerbitannya? Sabar!
Cukup jelas, aula pertemuan pada siang hari itu sempat dihinggapi oleh pertanyaan tersebut, ketika ada tanya-jawab yang menyentuh materi di luar isi buku dan kiprah kepenulisan Bu Dini.
Menanggapi seorang penanya Bu Dini sempat menyatakan bahwa tidak lama lagi beliau akan pindah ke Bandung. Ke Bandung? Iya, andaikata hingga bulan Agustus rumah tempat tinggalnya yang rusak saat itu belum bisa diperbaiki.
Kepindahan itu tak akan terjadi jika ada pihak yang turun tangan membantu. Sementara, di Bandung, ada seorang sahabat Bu Dini yang sudah siap membantu menyiapkan tempat tinggal siap huni.
Para hadirin yang melihat Bu Dini sebagai ‘legenda hidup’ kebanggaan Semarang dan Jawa Tengah ini jelas kaget dan tidak tega membiarkan hal itu terjadi. Peran pemerintah setempat sempat disebut dan diharapkan, mengingat gubernur terdahululah yang telah membantu menyediakan rumah kediaman yang sekarang.
Teringat pada suatu kesempatan lain ketika Bu Dini menceritakan ‘nasib baik’ para sastrawan Malaysia yang sudah sepuh seperti dirinya, dan tentu saja produktif berkarya, yang didaulat menjadi ‘sastrawan negara’ dan karena itu mendapat santunan pula dari pihak negara.
Dalam usia Bu Dini yang kesekian, dan dalam kondisi kesehatan yang mesti dijaga secara ketat, dapat dibayangkan betapa repot dan berat jika harus berpindah lagi, sambil memboyong semua barang yang dimiliki.
Tak hanya warga Semarang yang tak tega, saya pun demikian. Semua berharap, semoga ada pihak yang segera turun tangan.
Sayang tak ada cukup waktu dan kesempatan untuk berbincang-bincang lebih lanjut tentang soal yang satu ini seusai acara peluncuran buku. Dapat dimaklumi ketika Bu Dini langsung pula diserbu dan dikerumuni oleh banyak peserta acara.
Bahwa ada kesempatan di tengah kesempitan untuk sekadar mohon pamit, itu saja sudah patut disyukuri. Menemui Bu Dini, sejenak bertukar pesan dan salam perpisahan, singkat namun sarat, saya pun akhirnya menapak keluar dari Gramedia Hotel Amaris yang berdesain minimalis itu.
Meninggalkan Semarang kembali ke Jogja, sambil menyisir Gunung Merapi sebagaimana dijanjikan sopir, langit tampak teduh dan udara senja terasa sejuk.
Ya, sesejuk rasa di hati karena niat sudah digenapi, utang janji sudah dilunasi.
******
Bersama buku, juga pesan … (Foto diambil oleh salah seorang sahabat Bu Dini)
******
*Catatan:
Tentang kunjungan dan kegiatan Bu Dini di Universitas Nanzan
pada bulan Oktober 2003 dapat dibaca juga dalam blog ini pada
Arsip Bulan Maret 2011. Tulisan dimuat pada tanggal 1 Maret 2011
dalam rangka memperingati hari ulang tahun Nh. Dini yang ke-75.
Tulisan tersebut pernah diterbitkan juga kemudian pada Surat Kabar
Harian FLORES POS di Ende, Flores / NTT, koran daerah milik
Serikat Biarawan SVD Ende, atas permintaan Sdr. Frans Anggal,
Pemimpin Redaksi saat itu.
Sebagai informasi, FLORES POS adalah surat kabar harian pertama,
untuk umum, yang terbit di Pulau Flores, NTT. Saya ikut membidani
kelahiran surat kabar tersebut pada tahun 1999 (sebagai tindak lanjut
gerakan reformasi di daerah serta sekaligus mengawal momentumnya),
dan menjadi ketua yayasan penerbitnya, yaitu Yayasan Flores Media,
sekaligus sebagai pemimpin umum yang pertama, sebelum beralih tugas
ke Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang pada awal tahun 2000.
******
Nagoya/Jepang, 22 Desember 2012
Bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu di Indonesia
Henri Daros