BHAYANGKARA INDONESIA, GENAP 75 TAHUN
Hari ini, 1 Juli 2021, kita ucapkan ‘SELAMAT HARI BHAYANGKARA’ bagi Segenap Keluarga Besar ‘Kepolisian Republik Indonesia’. Tetaplah amanah, demi NKRI.
Bermula dari saat turunnya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946 tentang pembentukan suatu kesatuan nasional ‘Kepolisian Republik Indonesia’ yang bertanggung jawab langsung kepada pemimpin tertinggi negara yaitu presiden. Itulah wujud perhatian dan komitmen Presiden Soekarno, bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta, untuk lebih menjamin keamanan masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan melalui ‘Badan Kepolisian Negara’ (BKN) yang telah dibentuk oleh ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia’ (PPKI) pada 19 Agustus 1945, yang lantas menetapkan dan melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo (foto 1) sebagai Kepala Kepolisian Negara pada 29 September 1945.
Sebelumnya, yaitu pada masa penjajahan Belanda, institusi tersebut berwujud pasukan keamanan yang terdiri dari para warga pribumi namun tidak diberi wewenang untuk memimpin. Kemudian berlanjut ke masa pendudukan Jepang di mana salah seorang anggotanya ditugaskan juga untuk memimpin rekan-rekannya. Kesatuan pasukan penjaga keamanan tersebut adalah cikal bakal terbentuknya kesatuan kepolisian setelah proklamasi kemerdekaan.
Latihan-latihan yang diperoleh di pelbagai bidang tak dapat disangkal lagi telah mengasah kemampuan mereka. Pada masa penjajahan Belanda, sebagai contoh: Polisi Lapangan (Veld Politie), Polisi Kota (Stands Politie), Polisi Pertanian (Cultur Politie) dan Polisi Pamong Praja (Bestuurs Politie). Selain itu mereka pun dibolehkan untuk menjalankan tugas sebagai mantri polisi, asisten wedana dan wedana polisi, namun tidak untuk memegang jabatan yang lebih tinggi seperti bintara (hood agent), inspektur polisi (inspekteur van politie) dan komisaris polisi (commisaris van politie).
Menarik bahwa pada masa pendudukan Jepang satuan penjaga keamanan tersebut tidak dibagi menurut bidang tugas sebagaimana pada masa penjajahan Belanda tetapi menurut wilayah penugasan. Karena itulah ada yang disebut Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin, Kepolisian Sumatera dengan pusat Bukittinggi dan Kepolisian Indonesia Timur yang berpusat di Makassar. Satuan kepolisian yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang ini populer dengan nama PETA. Selain itu ada juga ‘Gyu-Gun’. Tentang kekhasan tugas kepolisian a’la Jepang ini bagi saya menjadi lebih jelas lagi ketika bertugas di Jepang selama lebih dari 17 tahun (2000 – 2017).
Tercatat bahwa satuan kepolisian di bawah Indonesia merdeka pada awalnya berada di bawah Kementerian Dalam Negeri untuk segala urusan administrasi, dan di bawah Kejaksaan Agung untuk hal-hal operasional. Peraturan Presiden Nomor 11 tertanggal 1 Juli tahun 1946 itulah yang selanjutnya mengubah status dan segala keterkaitan lainnya hingga sekarang. Itulah juga awal dari perayaan dan peringatan ‘Hari Bhayangkara’ setiap tahun hingga kini, dengan tema dan jenis kegiatan yang berbeda-beda setiap tahunnya, namun tetap di bawah semboyan atau moto utama yang sama yakni ‘Rastra Sewakottama’, yang berarti ‘Polri adalah Abdi Utama Nusa dan Bangsa’, Brata pertama dari ‘Tri Brata’ pedoman hidup Polri itu.
Adapun ‘Tri Brata’, pedoman hidup Polri (dalam rumusan bahasa Sanskerta dengan terjemahan Indonesia) itu, dalam kesatuan dengan unsur-unsur simbolik pada lambangnya, ialah: 1. Rastra Sewakottama (Abdi Utama Nusa dan Bangsa); 2. Nagara Janottama (Warga Negara Teladan); Jana Anusasana Dharma (Penjaga Ketertiban Rakyat), dengan rumusannya yang lengkap pula apabila harus atau perlu diucapkan pada kesempatan-kesempatan resmi (foto 2 & 3).
Keterbukaan POLRI dalam rangka pembenahan dirinya sempat menyentuh hati saya justru ketika saya sedang bertugas di Jepang. Mungkin baru sekitar 5 atau 6 tahun saya bertugas di sana, sebagai pengajar pada Program Studi Indonesia di Universitas Nanzan, Nagoya, ketika diterima informasi melalui Bagian Hubungan Internasional universitas bahwa sewaktu-waktu akan ada kontak permintaan konsultasi dari pihak Kepolisian Jepang yang sedang menyiapkan diri untuk memperkenalkan sistem ‘Koban’, yaitu sistem kerja dan pelayanan masyarakat Kepolisian Jepang, kepada pihak Kepolisian Indonesia. Bantuan perihal gambaran situasi di Indonesia dan istilah-istilah kunci dan penting dalam bahasa Indonesia, itulah yang menjadi fokus.
Betapa gembira ketika kemudian mendapat informasi lebih lanjut, sekaligus saran, agar meluangkan waktu untuk mengikuti suatu wawancara, di TVRI kalau tidak khilaf, di mana seorang perwira polisi Jepang mendapat kesempatan untuk memperkenalkan sistem ‘Koban’ tersebut kepada para pemirsa umum pada awal tugas pendampingannya secara langsung di lingkungan Polri. Tidak berhasil terhubung ke siaran televisi, namun lega ketika mengikuti beritanya melalui koran. Sang Perwira Polisi Nippon itu pun, dalam bahasa Indonesia yang terbatas namun jelas dan terukur, telah berhasil menyampaikan informasi yang mengesankan.
‘Koban’ Jepang itu sendiri memang sangat mengesankan. Kata itu sendiri, yang kadang disebut juga ‘Chuzaisho’, berarti ‘Pos Polisi’, menggambarkan tak hanya suatu tempat tugas tapi suatu sistem, konsep dan budaya kerja para polisi Jepang sebagai polisi komunitas, pelayan masyarakat, yang hadir langsung di jantung kehidupan masyarakat.
Sekadar mengemukakan beberapa contoh konkret, misalnya, pelayanan yang cepat dan tepat; penanganan persoalan yang tidak bertele-tele dan tanpa tawar-menawar apapun; tempat orang menemukan barangnya yang hilang, tercecer atau terlupa dalam keadaannya yang masih utuh; tak pernah terdengar menggunakan kekerasan atau pistol; ramah dalam memperlakukan orang; sabar menghadapi kerewelan orang yang lagi bermasalah, dan lain sebagainya. Bangunan rumah ‘Koban’ pun (foto 4) seperti dengan sengaja dibuat menarik perhatian. Para pejalan kaki sering suka berebutan bergambar di depannya, terutama di depan bangunan yang sengaja ditampilkan rada-rada lucu.
Itulah wajah depan ‘Koban’ dan para opsirnya, wajah ramah yang berbaur akrab di tengah masyarakat sejauh saya sendiri menyaksikannya. Tak jarang pula sering bersalaman ketika mereka, biasanya berpasangan, melintas bersepeda santai dekat apartemen tempat tinggal. Di balik itu, di markas utama, kecanggihan teknologi dan kecermatan otak jelas mengatur dan menggerakkan semuanya.
Maka, ketika mendengar bahwa kedatangan pertama sang perwira polisi beserta timnya dari Jepang itu disusul oleh kesepakatan ‘Program Studi Banding’ bagi para polisi Indonesia di Negeri Samurai itu, rasa hati ini memang menjadi semakin lega, dan lengkap. Sangat boleh jadi tak hanya di ‘Koban’, tapi di pusat-pusat operasinya pun para polisi kita mampir melakukan studinya. Sejauh mana hasilnya, belum jelas benar, tapi mengingat semboyan ‘Tri Brata’ yang sudah sejak awal diucapkan dan dihayati, kita optimis akan hasilnya yang terbaik.
Namun, di ‘Hari Bhayangkara’, hari yang sangat khusus ini, keteladanan di tubuh Keluarga Besar POLRI sendiri pun hendaknya tak terlupakan. Saya hanya mau menyebut satu teladan utama yang kebetulan pernah saya kenal, yaitu Jendral Polisi Hoegeng Imam Santoso (foto 5). Awal tahun 1990-an, di Jakarta, kami bertemu pada acara peluncuran buku yang ditulis tentang Beliau yang berjudul ‘Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan’. Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, dan Ramadhan KH adalah salah satu penulisnya. Dihadiri oleh hampir semua anggota ‘Kelompok Petisi 50’, termasuk Pak Ali Sadikin, para aktivis penggugat rezim Orba dan kalangan ‘civil society’ serta lembaga penerbitan.
Adalah Pak Chris Siner Key Timu, Sekretaris Pokja (Kelompok Kerja) Petisi 50 (yang sudah sejak tahun 1976 jadi sahabat dan mitra dalam kegiatan kemahasiswaan itu) yang secara khusus memperkenalkan saya kepada Pak Hoegeng dan Pak Ali Sadikin pada waktu itu. Nah, Pak Hoegeng, polisi idaman, paling berdisiplin, polisi paling jujur yang gemar bermain musik Hawaian itu, telah meninggalkan jejak yang dalam sebagai teladan, tak hanya untuk Keluarga besar POLRI tapi juga untuk NKRI yang beradab dan bermartabat.
Sekali lagi, ‘SELAMAT HARI BHAYANGKARA’ Ke-75. Teruslah setia berkiprah demi NKRI tercinta.
*****
NB. Foto-foto dapat dilihat di akun
Henri Daros Facebook hari/tanggal
Kamis, 1 Juli 2021
‘Serambi Soekarno’
Biara Santo Yosef, Ende
Kamis, 1 Juli 2021
HENRI DAROS
*****