SENANG BERJUMPA, PANGGIL SAJA SAYA ….. !

[ Nice to meet you, just call me ……… ! ]
 
Ketika memperkenalkan diri kepada seseorang saat pertama kali berjumpa, cukup biasa -meski tidak selalu- kita mempersilakan orang memanggil kita dengan nama panggilan yang kita kehendaki. Kita ingin dan senang jika dipanggil dengan nama tertentu. Apalagi jika nama lengkap yang sudah kita sebut masih agak sulit ditangkap oleh mitra bicara kita. 
 
Maka ditawarkanlah nama yang lebih ringkas, gampang diingat, dan tentu lebih baik lagi jika mudah diucapkan. Pada sejumlah kesempatan hal itu dilakukan untuk menghargai orang lain yang sudah lebih dulu memperkenalkan nama panggilannya. Apalagi kalau dia pun lebih lanjut bertanya dengan nama apa, atau nama yang mana, kita mau atau boleh dipanggil. Bahwa kadang-kadang hal itu dilakukan sekadar berbasa-basi, itu soal lain.
 
Dari pengalaman, nama panggilan tidak mesti selalu berupa nama kecil, yaitu nama yang diberikan dan dipakai sehari-hari sejak masa kanak-kanak. Juga tidak mesti nama asli keluarga atau marga. Bisa saja nama yang baru mulai dipopulerkan di sekolah. Atau nama yang biasa dipakai di lingkungan kerja dan organisasi. Entah itu nama pertama, nama kedua atau nama tengah kalau ada. Kadang-kadang tetap dalam bunyinya yang asli. Kadang-kadang juga sudah beralih bentuk biar tidak merepotkan lidah. Buat sementara orang, cukuplah jika dipanggil dengan nama tunggal yang dimiliki. Bahkan juga dengan nama julukan. Namun tidak jarang terjadi bahwa nama yang dipakai adalah nama dalam versi bahasa dan kebiasaan penduduk negeri setempat.
 
Perasaan yang menyertai penyebutan, atau yang bisa timbul akibat penyebutan nama tertentu itu, pun bisa berbeda-beda. Nama kecil bisa kembali menghadirkan suasana akrab dan afeksi kekeluargaan. Nama yang biasa digunakan di sekolah atau di kampus dapat menjadi ekspresi rasa persahabatan. Nama di tempat kerja bisa saja punya kesan resmi jika berkaitan dengan jenjang jabatan, namun bisa pula punya nuansa kesetaraan jika diwarnai semangat setia kawan. Begitu pun di lingkungan organisasi atau perhimpunan. Sedangkan, nama panggilan kita dalam versi setempat tentu saja bisa membangkitkan rasa kedekatan dan menambah keakraban dengan teman-teman baru kita di tempat itu.
 
Namun, dari pengalaman pula, tidak selalu kita akan dipanggil atau disapa dengan nama tertentu yang kita kehendaki. Tidak juga dengan nama panggilan yang sudah biasa dipakai di tempat sebelumnya, di tanah air kita sendiri atau di negeri lain yang pernah kita diami. Belum lagi perbedaan embel-embel sapaan yang menyertai penyebutan nama kita. Embel-embel itu bisa berhubungan dengan tugas, jabatan atau pekerjaan kita. Bisa saja berupa gelar atau sapaan budaya yang khas di kalangan suku atau bangsa tertentu. Bisa juga sapaan yang mengungkapkan sifat atau kadar hubungan kita dengan seseorang. Maka, embel-embel itu bisa saja formal, fungsional, atau informal. Penggunaannya, menurut kaidah sopan santun, seperti biasa mengindahkan waktu dan tempat yang tepat. Namun bisa terjadi, misalnya, apa yang dianggap sebagai sopan santun dalam konteks formal di suatu tempat justru tidak berlaku, atau berlaku sebaliknya, di tempat lain.
 
Kenyataan yang lumrah namun terkadang rumit itu mengandaikan kesiapan kita saja untuk menyikapinya, khususnya ketika kita memasuki lingkungan sosial, budaya, adat-istiadat serta kebiasaan yang berbeda. “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Perbedaan-perbedaan yang ada memang tidak jarang pada awalnya menimbulkan perasaan janggal. Bahkan rasa terasing. “Come un pesce fuor d’acqua”, kata pepatah Italia. Seperti ikan (yang terdampar) di luar lubuknya. Dalam hal perbedaan dan beranekanya cara menyapa dan memanggil nama, kita lantas mesti belajar memahami mengapa dan apa latar belakangnya. Bersyukurlah jika pada akhirnya kita tidak hanya akan merasa nyaman dan terbiasa dengan perbedaan tersebut, namun tanpa canggung ikut melakoninya juga. “Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak”.
 
Berputar-putar bicara soal nama, dari awal Anda tentu telah menemukan nama orang yang tuturannya kini sedang Anda baca. Tuturan yang berupa sorot balik pengalamannya sendiri. Boleh jadi serupa dengan refleksi pengalaman Anda juga. Nama yang Anda temukan di sini sederhana saja, bukan? Bukan nama samaran dan bukan pula nama julukan. Singkat dan mudah diucapkan. Sesungguhnya, nama tersebut telah melewati pengalaman panjang berwarna-warni. Disebut utuh, dibikin semakin singkat, diubah bentuk, dipangkas, ditambah-kurang, ditekuk, dibolak-balik, dibikin berbunyi sengau atau bergetar, dengan aneka embel-embel atau tanpa embel-embel, dan lain sebagainya. Pendeknya, semau hati yang memanggil, selaras adat yang menyapa. Ibarat sebuah komposisi musikal. Sejak awal memang digubah dengan tema tunggal, namun kemudian dimainkan dalam bermacam variasi sesuai dengan interpretasi. Karena itulah dibutuhkan kemampuan apresiasi.
 
Mengutip peribahasa Latin “nomen est omen”, nama adalah tanda, kita lalu menyadari betapa lenturnya tanda itu. Bukankah sudah sejak masa kanak-kanak orangtua memanggil kita dengan ‘nama kecil’ yang secara jeli diiris manis dari nama asal, dan sekaligus jadi maskot ekspresi kasih mereka? Selanjutnya, tak ada rambu-rambu tabu buat siapa pun, dengan latar belakang dan tolok ukur yang bisa saja berbeda-beda, untuk mengemas dan mengukir perasaan, sikap, persepsi, kesan dan pesannya pada sebuah nama tertentu, yang dinilai pantas dan nyaman untuk ditujukan dan dikenakan kepada kita. 
 
Namun, dengan merujuk pada nama asal yang sama, dan lebih lagi pada pribadi dan sosok orang yang sama, beraneka wujud nama dan sapaan itu lantas menjadi suatu mosaik tanda pengenal diri kita sebagai ‘individu unik’ bagi orang lain. Sadar atau tidak, nama menjadi tanda yang kaya dan sarat makna dalam sebuah hubungan timbal balik, entah personal, sosial, formal atau fungsional.
 
Di sana tersirat dan terkirim beraneka pesan bagi sang pemilik nama. Pesan terpenting agaknya ialah agar tetap setia pada jati diri, pada panggilan tugas, dan pada misi keberadaan. Kenyataan bahwa orang lainlah yang merangkai beraneka nama itu, kiranya juga menjadi isyarat bahwa untuk orang lainlah peran dan tugas itu mesti diabdikan sebaik-baiknya. Dan dengan orang lain pula kita diajak bergandengan tangan, kapan pun, di mana pun dan dalam situasi apa pun, agar nama itu tetap bermakna buat kehidupan bersama. 
 
Maka, kendati terjadi di luar keinginan kita pribadi, sebuah nama panggil yang diracik orang lain, betapapun asing dan tak langsung bersambung rasa, agaknya tak perlu langsung diingkari tetapi hendaknya dimaknai. Boleh jadi ada suatu simpul relasi atau ekspektasi yang perlu diurai. Siapa tahu juga “setelah kenal lantas sayang”. Bukankah terhadap orang lain pun kita kerap melakukan hal yang sama?
 
Akhirnya, bolehlah saya tutup dengan sebuah cerita kenangan lama. Pada tahun 1983 kalau tidak salah, ketika melewatkan liburan musim panas di Italia utara, saya sempat ke kota Verona. Maksud hati antara lain ingin membandingkan dua Teatro dell’Opera terkenal yaitu ‘Caracalla’ di Roma dan ‘Arena’ di Verona. Keduanya sama-sama punya program pementasan opera di arena terbuka pada malam hari setiap musim panas. Satu hal yang lupa dicatat, namun tiba-tiba teringat, ialah bahwa Verona adalah kotanya ‘Romeo dan Juliet’.
 
Syukur waktu bisa diatur, maka saya pun meluncur ke sebuah vila yang disebut sebagai vila keluarga Capulet, di mana terdapat makam Juliet. Ketika berada di sana, pada awalnya terasa aneh di telinga mendengar petugas vila yang selalu menyebut ‘Juliet dan Romeo’, atau ‘Giulietta e Romeo’ versi Italianya. Bukan sebaliknya, yang memang lebih populer, yaitu ‘Romeo dan Juliet’. Alasannya sederhana saja. Juliet memang permata hati keluarga Capulet yang punya vila di situ, sedangkan Romeo putra semata wayang keluarga Montaque yang bervila di tempat lain.
 
‘Anda orang Perancis?’, tanya sang petugas setelah memperhatikan nama yang saya tulis pada kover buku panduan yang diambil di situ. ‘Maaf, bukan!’, jawab saya sambil tersenyum. ‘Yunani …? Portugis …?’, tebaknya lagi, beruntun. ‘Juga bukan!’, kata saya lagi sambil melirik, membuatnya semakin penasaran. ‘Wah Signore, saya tidak tahu lagi … !’. Dia menyerah namun dengan gaya Italia yang tak mau terkesan kalah. ‘Allora … ‘, ‘Jadi … ?’, cetusnya lagi seakan-akan coba menaklukkan saya. ‘Saya orang Indonesia!’. Agak kaget namun tampak lega dia menggumam: ‘Ooo, Indonesia, un paese lontano!’. Sebuah negeri nun jauh! ‘Tapi’, lanjutnya berbinar, ‘dari nama ini, saya boleh juga panggil anda Enrico kan?’ Tidak kurang lega saya menjawab bahwa memang selama ini saya dipanggil Enrico (baca: Enriko) oleh teman-teman Italia.
‘Signor Enrico!’, sambungnya lagi, kali ini dengan senyum lebar.
 
Saya pun ikut tersenyum, seraya berharap bahwa dia sudah bisa lebih mengenali sosok Nusantara dan sinar mata Khatulistiwa dalam diri Enrico di hadapannya. Bukan Perancis, Portugis atau Yunani. Bukan juga ‘Romeo’, meski ‘Enrico’ pun datang untuk melacak jejak Juliet.
 
Hampir saja saya mengingatkan dia kembali tentang dialog Romeo dan Juliet yang dilukiskan dengan indah oleh pujangga besar Shakespeare dalam ‘adegan balkon’, depan kamar tidur Juliet. Balkonnya sendiri terlihat tidak jauh dari situ. Di balkon itulah soal nama disindir halus. What’s in a name? Apalah arti sebuah nama? Namun karena isi dialog Romeo dan Juliet memang tidak paralel dengan dialog antara saya dan Signor Italiano itu, saya lantas mohon permisi saja untuk melanjutkan wisata saya di vila antik dari abad ke-16 yang sedang ramai dipadati pengunjung itu. ‘Ciao … , arrivederci..!’
 
Membaur di antara para pengunjung yang rata-rata berpasangan, dan terlihat sangat menikmati kemesraan a’la Romeo-Juliet di situ, membuat perhatian sempat terbagi. Di bawah balkon, dekat patung perunggu Juliet, saya tersenyum membayangkan Romeo yang konon nekat memanjat dalam keremangan, dan berhasil. Lantas terkenang sepenggal bisikan Juliet kepada Romeo, sang perjaka nekat.
 
                                     What’s in a name?
                                     That which we call a rose
                                     By any other name
                                     Would smell as sweet
 
                                     (William Shakespeare,
                                     Romeo and Juliet, 2.2)
 
O ya, masih perlukah saya mempersilakan Anda untuk memanggil saya dengan nama tertentu? Rasanya tidak. Tidak untuk para sahabat dan kerabat karena mereka masing-masing sudah sangat tahu dengan nama apa saya biasa dipanggil. Tidak juga untuk Anda, dengan siapa saya baru pertama kali bertemu. Saya yakin, sebagaimana sudah terjadi selama ini, bila tiba saatnya berbincang, Anda pun akan menemukan sendiri sebuah nama untuk menyapa saya. Ketika itu saya pun pasti akan menyapa dengan nama Anda pula.
 
Untuk saat ini perkenankanlah saya dengan ikhlas hati mengucapkan selamat datang ke serambi yang sederhana ini. Senang sekali bisa berjumpa dan berkenalan.
 
Salam Nusantara! Salam Khatulistiwa!
 
(henri daros)
 
Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Leave a comment